Waspada Longsor di Melayu Kota Piring, DPRD Tanjungpinang Desak Pemerintah Bertindak Tegas

Anggota Komisi III DPRD Kota Tanjungpinang, Arie Sunandar. (Foto: istimewa)
Anggota Komisi III DPRD Kota Tanjungpinang, Arie Sunandar. (Foto: istimewa)

PIJARKEPRI.COM – Ancaman longsor di kawasan sempadan lahan milik Beni, pemilik usaha kopi merek Kapal Tangker, kian memantik perhatian publik.

Lahan yang berbatasan langsung dengan gudang milik Hacuang di Kelurahan Melayu Kota Piring itu kini menjadi sorotan tajam Anggota Komisi III DPRD Kota Tanjungpinang, Arie Sunandar.

Bacaan Lainnya

Tak sekadar menyuarakan keprihatinan, Arie mendesak pemerintah daerah agar segera turun tangan secara serius dan sistematis.

“Ini bukan sekadar konflik tapal batas atau urusan mediasi. Ini soal keselamatan warga. Pemerintah harus bergerak cepat dan bertindak tegas,” kata Arie saat diwawancarai, Kamis (12/6/2025)

Berita Sebelumnya : Sempadan Lahan di Melayu Kota Piring Rawan Longsor, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat

Ia menegaskan bahwa peristiwa ini harus dibaca sebagai dampak kelalaian dalam pengawasan bangunan, serta lemahnya penerapan aturan sempadan lahan.

Arie merujuk pada kondisi pagar milik Beni yang telah rusak, serta pondasi batu miring yang terkikis akibat saluran air dari atap gudang di sebelahnya.

“Struktur bangunan yang tidak memenuhi ketentuan bisa menjadi bom waktu. Bukan hanya merugikan satu pihak, tapi membahayakan seluruh lingkungan sekitar,” ujarnya.

Kondisi sempadan lahan milik Beni, seorang pengusaha kopi bermerek Kapal Tangker, yang berbatasan langsung dengan deretan gudang yang salah satunya milik Hacuang di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Senin (19/5/2026) (foto:aji/pijar)
Kondisi sempadan lahan milik Beni, seorang pengusaha kopi bermerek Kapal Tangker, yang berbatasan langsung dengan deretan gudang yang salah satunya milik Hacuang di Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Senin (19/5/2026) (foto:aji/pijar)

Arie menyoroti Peraturan Daerah Tanjungpinang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, khususnya aturan mengenai sempadan bangunan minimal satu meter dari batas lahan.

Menurutnya, regulasi itu bukan sekadar aturan administratif, melainkan proteksi nyata terhadap potensi bencana lingkungan seperti longsor dan banjir.

“Kita tidak bisa lagi menunggu. Pemerintah jangan hanya hadir saat bencana terjadi. Pencegahan jauh lebih murah dibanding penanggulangan pascabencana,” tegasnya.

Arie juga mendukung usulan Beni untuk membangun batu miring secara gotong royong. Namun ia menggarisbawahi, inisiatif semacam ini tak boleh hanya dibebankan pada salah satu pihak. Ia menilai, semua pemilik lahan yang berbatasan harus dilibatkan secara aktif.

“Ini bukan masalah siapa yang duluan bangun. Semua yang berbatasan harus ikut bertanggung jawab. Jangan saling menunggu hingga tanah runtuh baru saling tunjuk,” katanya.

Di sisi lain, respons lembaga eksekutif terlihat belum solid. Plh. Camat Tanjungpinang Timur, Hendrawan Herninanto, menyatakan tim kelurahan telah meninjau lokasi pada Rabu (11/6). “Tadi Kasi dan Seklur sudah turun ke lokasi,” ujarnya.

Namun Kepala Dinas PUPR Kota Tanjungpinang, Rusli, justru mengaku tidak mengetahui adanya kunjungan anggotanya tersebut. “Saya tidak tahu kalau ada anggota yang turun ke lokasi, hari ini, sebentar saya cek,” singkatnya.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik, seberapa serius koordinasi lintas perangkat daerah dalam merespons potensi bencana di tengah pemukiman padat?

Arie menutup pernyataannya dengan mendesak agar aturan sempadan tidak hanya dijadikan dokumen formal. Ia menuntut tindakan nyata, baik dari eksekutif maupun legislatif, untuk memastikan semua bangunan mematuhi ketentuan hukum dan tidak mengancam keselamatan warga.

“Peraturan dibuat untuk ditaati, bukan diabaikan. Keselamatan warga tidak bisa dinegosiasikan,” pungkasnya.

Pewarta : Aji Anugraha

Pos terkait