Palestina Merdeka sebagai Titik Tolak Peradaban Global yang Adil

Ilustrasi Palestina Merdeka sebagai Titik Tolak Peradaban Global yang Adil
Ilustrasi Palestina Merdeka sebagai Titik Tolak Peradaban Global yang Adil

Artikel ditulis oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.

Dalam arus sejarah panjang yang dipenuhi kekerasan struktural dan resistensi kolektif, Palestina menjelma menjadi simbol universal dari ketidakadilan yang terinstitusionalisasi dalam konfigurasi global saat ini. Konflik yang kerap dianggap sebagai isu regional semata pada hakikatnya merupakan refleksi tajam dari kontradiksi fundamental antara kekuasaan imperialis global dan aspirasi rakyat tertindas untuk memperoleh martabat, otonomi, dan pengakuan sebagai subjek politik yang setara. Disini, perjuangan Palestina tidak semata tentang pembebasan teritorial atau kedaulatan formal, melainkan sebuah gugatan menyeluruh terhadap arsitektur dunia yang mendasarkan dirinya pada dominasi sepihak, eksklusi sistemik, dan ketimpangan multidimensi. Maka, dalam skala konseptual yang lebih luas, kemerdekaan Palestina mesti dilihat sebagai titik mula potensial untuk menggerakkan rekonstruksi mendalam atas fondasi peradaban global yang selama ini tidak adil dan bersifat hegemonic, rekonstruksi yang berlandaskan pada prinsip kesetaraan substantif, penghormatan terhadap hak asasi manusia yang tak tereduksi menjadi formalitas hukum, dan pengakuan atas pluralitas sejarah serta identitas kultural yang selama ini disingkirkan dari narasi dominan.

Bacaan Lainnya

Dengan demikian, kemerdekaan Palestina harus diposisikan bukan hanya sebagai tujuan historis dari perjuangan panjang rakyatnya, tetapi juga sebagai premis konseptual yang menantang dan membongkar struktur kekuasaan dunia yang dibangun di atas relasi eksploitatif antara pusat dan pinggiran. Sehingga dalam kerangka dialektika historis, Palestina merdeka bukanlah sekadar hasil akhir dari resistensi, tetapi juga instrumen transformatif yang memiliki potensi menggeser logika dominasi yang selama ini melandasi sistem ekonomi-politik global. Jika kita simbolkan dengan P untuk Palestina merdeka, K untuk ketimpangan struktural global, dan R untuk revolusi peradaban berkeadilan, maka struktur logika dialektisnya adalah sebagai berikut:

P1: Ketimpangan global (K) → Eksploitasi dan Penindasan (E)

P2: Eksploitasi (E) → Resistensi (Rs)

P3: Resistensi (Rs) → Kemerdekaan Palestina (P)

Implikasi logis: Jika K → E, E → Rs, dan Rs → P, maka K → P

Kesimpulan: Kemerdekaan Palestina (P) merupakan konsekuensi dan sekaligus solusi dialektis terhadap ketimpangan global (K) yang berlangsung terus-menerus.

Dengan demikian, Palestina menjadi kristalisasi problem global yang jauh melampaui batas geografisnya, sekaligus menawarkan horizon etis-politik yang dapat menuntun reorganisasi tatanan dunia secara lebih adil dan setara.

Persoalan kemerdekaan Palestina tidak dapat dipahami tanpa memasukkannya ke dalam kerangka analisis struktural yang mengaitkan kolonialisme modern, geopolitik global, serta dinamika relasi kekuasaan internasional. Misalnya, Edward Said menegaskan bahwa kolonialisme bukan hanya perampasan fisik, tetapi juga proyek ideologis dan budaya yang terus memengaruhi bagaimana Palestina dipersepsikan dan diperlakukan dalam percaturan politik global. Selain itu, Ilan Pappé dan Rashid Khalidi menunjukkan bahwa proses pengusiran dan pendudukan terhadap bangsa Palestina merupakan implementasi sistematis dari strategi kekuasaan imperialis yang bertujuan mendisintegrasikan identitas, merampas kedaulatan, serta mengendalikan sumber daya vital di kawasan Timur Tenga .

Data dari B’Tselem mengungkapkan bahwa lebih dari 600.000 pemukim Israel menduduki wilayah Tepi Barat, yang secara konsensus internasional diakui sebagai wilayah pendudukan ilegal. Sementara itu, laporan Human Rights Watch mendokumentasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat sistemik, termasuk pemindahan paksa, pembatasan mobilitas, dan kekerasan institusional terhadap warga sipil Palestina. Hemat saya, berbagai temuan ini beresonansi dengan analisis David Harvey yang menyatakan bahwa ketimpangan ekonomi dalam konteks kolonialisme menciptakan sirkuit kemiskinan yang inheren dalam sistem dominasi.

Di ranah psikososial, berbagai riset menunjukkan dampak intergenerasional dari trauma, kehilangan, dan kekerasan terhadap anak muda Palestina, yang pada gilirannya melahirkan resistensi kultural dan politik sebagai bentuk afirmasi identitas dan keberlangsungan eksistensial . Perlu dipahami, dalam perspektif teori konflik sosial klasik, resistensi bukanlah deviasi atau patologi sosial, melainkan respons dialektis terhadap struktur yang menindas . Maka, kemerdekaan Palestina tidak dapat dipersempit hanya sebagai agenda politik formal, tetapi merupakan perjuangan menyeluruh untuk merebut kembali hak-hak ekonomi, sosial, dan kultural yang selama ini dipendam di bawah kuasa kolonialisme modern.

Dalam analisis lebih dalam dan sistematis, jika kita identifikasi penjajahan (J) sebagai penyebab ketimpangan (K), dan ketimpangan sebagai penyulut resistensi (R), serta resistensi sebagai kekuatan penggerak transformasi struktur politik (T), maka kita dapat menyusun logika dialektis sebagai berikut:

P1: J → K

P2: K → R

P3: R → T

Kesimpulan: J → T

Lebih lanjut, ketimpangan (E) dapat diformulasikan sebagai E = S + M + D, di mana S adalah perampasan sumber daya, M adalah pembatasan mobilitas, dan D adalah diskriminasi sistemik. Jika E → R dan R adalah kekuatan transformatif, maka logika lanjutan: (E → R) ∧ (R → T) → E → T. Namun, transformasi tidak terjadi dalam ruang hampa; ia ditentukan oleh intervensi kekuatan imperialis global (I), yang justru bertindak sebagai penghambat. Maka, I → ¬T, dan perlawanan (R) harus menggerogoti dominasi I agar T dapat terealisasi. Dialektika ini membentuk kondisi: (I ∧ R) → (¬T ∧ T), yang menandakan konflik laten hingga kondisi revolusioner tercapai. Dari sini, menjadi terang bahwa kemerdekaan Palestina adalah bagian integral dari agenda transformasi global menuju tatanan yang lebih adil, setara, dan berperikemanusiaan.

Realitas ini juga memiliki relevansi sosial dan moral yang tak terbantahkan, bahwa kemerdekaan Palestina bukan sekadar ekspresi nasionalisme, tetapi juga simbol perjuangan kolektif umat manusia melawan sistem penindasan global. Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak dasar yang harus dijamin bagi setiap bangsa, dan pelanggarannya terhadap Palestina telah berlangsung terlalu lama. Kemenangan perjuangan ini akan menjadi titik pertemuan berbagai gerakan sosial yang menentang ketidakadilan, dari Amerika Latin hingga Afrika Sub-Sahara, dari Asia Selatan hingga komunitas adat di Pasifik.

Lebih dari itu, ia menjadi inspirasi untuk melawan bentuk baru penjajahan: neoliberalisme global, dehumanisasi ekonomi, dan eksploitasi digital. Kemerdekaan Palestina adalah artikulasi dari moralitas (M) yang terdiri atas keadilan distributif (J) dan pengakuan martabat (P), maka M = J + P. Dalam terminologi etis-politik, Palestina menjadi kasus paradigmatis dari perjuangan global yang mendesak dunia untuk merenungkan kembali struktur hegemonik yang selama ini ditoleransi, bahkan dipertahankan oleh kekuatan besar internasional demi kepentingan geopolitik semata.

Oleh karenanya, perjuangan Palestina adalah refleksi dari watak dunia kontemporer yang masih sarat dengan dominasi dan asimetri kekuasaan. Ia merupakan medan dialektis tempat konfrontasi antara kekuatan penindas dan aspirasi pembebasan berlangsung dalam bentuk yang paling telanjang. Maka, perlawanan Palestina kini telah mengajarkan kita untuk tidak tunduk pada narasi besar yang menormalisasi penjajahan sebagai “keamanan”, dan mendefinisikan perjuangan kemerdekaan sebagai “ancaman”.

Terakhir, refleksi terhadap perjuangan Palestina membawa kita pada pertanyaan eksistensial dan politis yang mendalam: dalam struktur global yang timpang ini, apakah kita memilih untuk diam, netral, atau menjadi bagian dari transformasi sejarah menuju dunia yang lebih adil?; Perjuangan ini bukan hanya tentang Palestina, tetapi tentang seluruh umat manusia yang mendambakan dunia tanpa penindasan. Ia bukan sekadar narasi penderitaan, tetapi juga kisah tentang keberanian, keteguhan, dan harapan. Palestina merdeka adalah proyek etik-politik yang mengajak kita untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga mengubahnya.

Tulisan ini dibuat oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.

(Corresponding Author: therolland15@gmail.com).

 

Bibliography:

Said, E. W. (1979). The Question of Palestine. Vintage Books.

https://www.penguinrandomhouse.com/books/159795/the-question-of-palestine-by-edward-w-said/

Pappé, I. (2004). A History of Modern Palestine: One Land, Two Peoples. Cambridge University Press.

https://www.cambridge.org/core/books/history-of-modern palestine/624223AF93BAA2E69130BB3135FB395D

Khalidi, R. (2020). The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017.

https://www.amazon.com/Hundred-Years-War-Palestine-Resistance/dp/1627798552

B’Tselem. (2025, May 23). Israeli settlers force about 150 Palestinians to leave their West Bank village. The Guardian.

https://www.theguardian.com/world/2025/may/23/israeli-settlers-forcepalestinians-leave-west-bank-village

Human Rights Watch. (2021, April 27). A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution.

https://www.hrw.org/report/2021/04/27/threshold-crossed/israeli-authorities-and-crimes-apartheid-and-persecution

Pos terkait