OPINI, PIJARKEPRI.COM – Dalam beberapa dekade terakhir, Timur Tengah telah menjadi panggung bagi dinamika sosial dan politik yang intens.
Namun, di balik pergantian rezim, konflik, dan gerakan protes yang sering diasosiasikan dengan isu demokrasi dan ekstremisme, tersimpan dialektika mendalam antara dua arus besar yaitu warisan kolonial yang masih membekas, dan aspirasi kebangkitan peradaban Islam yang terus menggeliat.
Banyak pihak melihat gejolak politik Timur Tengah hanya sebagai pertarungan antara fundamentalisme dan sekularisme. Namun sesungguhnya, apa yang terjadi adalah sebuah pergulatan identitas dan peradaban.
Negara-negara Arab hari ini berdiri di persimpangan sejarah yaitu antara bayang-bayang masa lalu kolonial yang membentuk struktur sosial dan ekonomi mereka, dan impian akan sebuah masa depan Islam yang mandiri dan berdaulat.
Dekolonisasi: Merdeka Tapi Masih Terikat
Secara formal, sebagian besar negara Arab telah merdeka sejak pertengahan abad ke-20. Namun, kemerdekaan ini ternyata belum sepenuhnya membebaskan mereka dari cengkeraman sistem ekonomi global yang eksploitatif dan dominasi budaya Barat.
Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah, ketimpangan ekonomi ekstrem, serta minimnya kemandirian industri, menandakan bahwa dekolonisasi ekonomi belum benar-benar tuntas.
Laporan Pembangunan Arab (2016) menunjukkan bahwa negara-negara Arab mengalami defisit perdagangan mencapai 2,3 triliun dolar AS hanya dalam satu dekade terakhir.
Sebagian besar ekspor mereka masih bergantung pada minyak dan komoditas mentah yang rentan fluktuasi harga global. Situasi ini memperlihatkan bahwa meski secara politik telah merdeka, secara ekonomi mereka masih sangat bergantung.
Lebih jauh lagi, ketimpangan sosial pun belum terselesaikan. Studi agraria menunjukkan bahwa struktur kepemilikan lahan di Mesir, Irak, dan Suriah pasca-kemerdekaan tetap oligarkis dan tidak adil.
Ketimpangan ekonomi ini diperparah dengan sistem kroni-kapitalisme yang melanjutkan pola kolonial lama: ekonomi yang melayani elit, bukan rakyat banyak.
Tiga Kontradiksi Besar
Para penulis merumuskan bahwa kebangkitan peradaban Islam tidak dapat terjadi tanpa menyelesaikan tiga kontradiksi mendasar:
1. Autentisitas vs Modernitas
Masyarakat Arab terjebak antara mempertahankan identitas Islam yang otentik dan tuntutan modernisasi yang seringkali berakar pada paradigma Barat.
2. Persatuan Regional vs Fragmentasi Politik
Secara kultural dan historis, dunia Arab memiliki potensi kesatuan, namun realitas politiknya sangat terfragmentasi dan sering saling bertentangan.
3. Kemerdekaan Ekonomi vs Ketergantungan Global
Meskipun berdaulat secara politik, banyak negara Arab masih menjadi bagian dari sistem ekonomi global yang membuat mereka bergantung secara struktural.
Ketiga kontradiksi ini harus diatasi untuk mencapai transformasi sosial, ekonomi, dan politik yang substantif—jalan menuju kebangkitan peradaban Islam yang sejati.
Kebangkitan Sebagai Proyek Epistemik
Lebih dari sekadar kebangkitan politik, proyek ini juga merupakan perjuangan mendefinisikan kembali identitas Arab dan Islam yang selama ini dibentuk oleh narasi kolonial.
Edward Said dalam Orientalism mengkritik bagaimana dunia Barat menggambarkan Timur sebagai sosok eksotik yang tidak rasional dan butuh dikendalikan. Dekolonisasi sejati harus mampu mendekonstruksi warisan naratif ini.
Dalam konteks ini, kebangkitan Islam harus dipahami sebagai upaya menggali kembali warisan intelektual Islam klasik dan mengembangkannya secara kontekstual, tanpa dogmatisme dan tanpa inferioritas terhadap ilmu pengetahuan modern, Ini bukan soal kembali ke masa lalu, tapi menata masa depan dengan akar yang kuat.
Rumusan Logis Kebangkitan
Penulis menyajikan formula logis untuk menggambarkan proses ini:
(D ∧ H) → C → S → K
Artinya:
> Meski Dekolonisasi (D) telah terjadi, Hegemoni Barat (H) masih membekas. Hal ini melahirkan Kontradiksi (C) mendasar yang harus diselesaikan. Bila kontradiksi ini dapat dipecahkan, maka akan terjadi Transformasi Substansial (S) yang akhirnya mengarah pada Kebangkitan Peradaban Islam (K) yang otentik dan berkelanjutan.
Kesimpulan: Membangun dari Dalam
Jalan menuju kebangkitan dunia Arab dan Islam tidak bisa hanya ditempuh lewat perubahan politik semata.
Ia menuntut revolusi budaya, ekonomi, dan epistemologi. Ini adalah proses panjang dan kompleks, namun sangat mungkin dilakukan bila ada kesadaran kolektif untuk membangun dari dalam—dari akar peradaban dan nilai-nilai yang menghidupinya.
Penulis:
Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.