Oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd.
Dalam beberapa dekade terakhir, Timur Tengah telah menjadi saksi gelombang perubahan sosial dan politik sangat dinamis, yang tidak hanya menandai pergantian rezim atau restrukturisasi pemerintahan, melainkan juga memperlihatkan fenomena mendalam berupa konflik antara warisan kolonial yang membayangi, dan aspirasi kebangkitan peradaban Islam yang lama tertidur. Selain itu, revolusi dan gejolak politik yang kerap dipersepsikan secara sempit sebagai perjuangan demokrasi atau benturan antara fundamentalisme dan sekularisme sebenarnya penulis nilai merupakan dialektika peradaban Islam yang jauh lebih kompleks dan mendalam (Halliday, 2005). Fenomena ini menggambarkan bagaimana masyarakat Arab berada pada persimpangan antara warisan sejarah penjajahan yang membentuk struktur sosial-ekonomi dan politiknya serta impian kebangkitan autentik yang mampu merevitalisasi identitas dan nilai-nilai Islam sekaligus merespons tantangan global modern (Roy, 2010). Oleh karena itu, pembacaan fenomena tersebut tidaklah cukup hanya melihatnya sebagai rangkaian peristiwa politik, tetapi harus menempatkannya dalam konteks transformasi sosial-kultural dan ekonomi-politik fundamental yang saling terkait (Bayat, 2013).
Kini, tampak proses dekolonisasi yang dialami dunia Arab selama beberapa generasi mengandung paradoks mendalam. Dimana, meskipun kemerdekaan politik telah diperoleh dan negara-negara Arab formal terbebas dari penjajahan langsung, ketergantungan sosial-ekonomi pada sistem kapitalisme global dan hegemoni budaya Barat tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih halus (Sachs, 2011). Negara-negara Arab masih bergulat dengan ketidaksetaraan ekonomi tajam, ketergantungan pada ekspor komoditas primer, serta ketidakmampuan mengembangkan basis industri mandiri (UNCTAD, 2022). Secara budaya, institusi pendidikan, media massa, serta kerangka berpikir elit penguasa masih banyak dipengaruhi paradigma Barat, sehingga menimbulkan ketegangan antara menjaga keaslian budaya dan agama dengan tuntutan modernisasi pragmatis (Kandil, 2016). Karenanya, kebangkitan peradaban Islam (al-nahḍah al-ḥaḍāriyyah) tidak hanya agenda ideologis, melainkan proses dialektis yang mengatasi tiga kontradiksi utama: autentisitas versus modernitas, persatuan regional versus fragmentasi politik, serta kemerdekaan ekonomi versus ketergantungan global (Hinnebusch, 2016). Ketiga kontradiksi ini menjadi kunci menuju kebangkitan substansial dan berkelanjutan, yang mengubah struktur sosial-politik dan ekonomi kawasan secara fundamental.
Oleh karena itu dapat penulis rumuskan logikanya sebagaimana berikut:
D = Dekolonisasi Arab (proses pembebasan dari kolonialisme)
K = Kebangkitan Peradaban Islam (revitalisasi identitas, budaya, ekonomi, dan politik)
H = Warisan Hegemoni Barat (ketergantungan ekonomi, politik, dan budaya yang tersisa)
C = Contradiction / Kontradiksi utama yang harus diselesaikan (autentisitas vs modernitas, persatuan vs fragmentasi, kemerdekaan ekonomi vs ketergantungan)
S = Substansi transformasi sosial-ekonomi-politik yang mendalam
Maka, proposisi kunci dari dekolonialisasi Arab, adalah:
(D ∧ H) → C → S → K
Artinya:
Meski Dekolonisasi (D) secara formal sudah terjadi, namun Warisan Hegemoni Barat (H) tetap ada, dan melahirkan Kontradiksi (C) mendasar yang tidak dapat dihindari. Sehingga penyelesaian kontradiksi ini, akan menghasilkan Substansi transformasi (S) yang esensial untuk mencapai Kebangkitan Peradaban Islam (K) yang autentik dan berkelanjutan.
Data empiris menunjukkan bahwa meskipun kemerdekaan politik dicapai sejak pertengahan abad ke-20, indikator ketergantungan struktural dan ketidakadilan ekonomi semakin menguat. Dimana, laporan Arab Development Report (2016) menyatakan bahwa negara-negara Liga Arab mengalami defisit perdagangan kumulatif mencapai 2,3 triliun dolar AS dalam dekade terakhir, dengan lebih dari tiga perempat ekspor masih didominasi komoditas primer yang rentan fluktuasi harga pasar internasional (ESCWA, 2017). Kondisi ini menegaskan ketergantungan ekonomi lama sekaligus kerentanan struktural yang menghambat pembangunan berkelanjutan dan inklusif (UNDP, 2021). Analisis Amin (1976) tentang pembangunan tidak merata di negara-negara periferi kapitalis memperkuat gambaran tersebut, di mana negara-negara Arab banyak yang terjebak dalam subordinasi ekonomi sulit dilepaskan (Amin, 1976). Selanjutnya, studi longitudinal oleh El-Ghonemy (2003) tentang kepemilikan lahan di Mesir, Irak, dan Suriah menunjukkan bahwa reformasi agraria pasca-kemerdekaan gagal merombak pola kepemilikan tanah feodal dan oligarkis dengan koefisien Gini tinggi antara 0,85 hingga 0,92, menandakan adanya ketimpangan luar biasa (El-Ghonemy, 2003). Terakhir, Cammett dan Diwan (2013) telah mengeksplor bagaimana struktur kroni-kapitalisme di kawasan merupakan kelanjutan model ekstraktivisme kolonial dalam sistem ekonomi politik, bukan sekadar penyimpangan sementara (Cammett & Diwan, 2013). Semua ini menunjukkan bahwa agenda dekolonisasi ekonomi harus melampaui perubahan permukaan dan fokus pada rekonstruksi institusional untuk menghapus ketergantungan struktural serta mendistribusikan kekayaan secara adil.
Lebih lanjut, dalam ranah kultural dan ideologis, penulis menilai dekolonisasi Arab bukan hanya pembebasan dari dominasi politik dan ekonomi, tetapi perjuangan panjang mendefinisikan kembali identitas kolektif masyarakat Arab yang selama berabad-abad dibentuk oleh narasi kolonial Barat. Proses ini menuntut dekonstruksi epistemologi dan wacana yang menjadi instrumen penguasaan budaya, seperti orientalisme yang dikritik oleh Said (1978), dimana Timur Tengah direpresetasikan sebagai ‘yang lain’ eksotis, primitif, dan membutuhkan pengarahan Barat (Said, 1978). Dalam konteks ini, kebangkitan peradaban Islam harus dipahami sebagai upaya rekonstruksi epistemik, di mana tradisi intelektual Islam klasik digali kembali, dikritisi, dan dikontekstualisasikan ulang untuk menghadapi globalisasi dan modernitas tanpa kehilangan akar historisnya (Esposito, 1998). Pendekatan ini harus menolak dogmatisme sekaligus menghindari subordinasi paradigma asing, sehingga menciptakan ruang pembaruan dinamis dan inklusif (Nasr, 2006). Kerangka ini akan membuka peluang dialog konstruktif antara tradisi Islam dan ilmu pengetahuan modern yang berdampak kebangkitan peradaban Islam bersifat holistik, mencakup teologi, sosial, politik, dan teknologi (Hefner, 2011).
Tulisan ini dibuat oleh Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si., Helsa Nasution, M.Pd., Luthfiah Mawar, M.K.M., dan Nurzahara Sihombing, S.Pd. (Corresponding Author: therolland15@gmail.com).
Bibliography:
Amin, S. (1976). Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral Capitalism. Monthly Review Press.
Bayat, A. (2013). Life as Politics: How Ordinary People Change the Middle East. Stanford University Press.
Cammett, M., & Diwan, I. (2013). The Political Economy of the Middle East. Westview Press.
ESCWA. (2017). Economic and Social Commission for Western Asia: Annual Report. United Nations.
El-Ghonemy, M. R. (2003). Agrarian Reform and Development in the Middle East. Routledge.
Esposito, J. L. (1998). Islam and Politics. Syracuse University Press.
Halliday, F. (2005). The Middle East in International Relations: Power, Politics and Ideology. Cambridge University Press.
Hefner, R. W. (2011). Shariʻa Politics: Islamic Law and Society in the Modern World. Indiana University Press.
Hinnebusch, R. A. (2016). Syria: Revolution from Above. Routledge.
Kandil, H. (2016). Soldiers, Spies, and Statesmen: Egypt’s Road to Revolt. Verso Books.
Nasr, S. V. R. (2006). Islamic Science: An Illustrated Study. World Wisdom, Inc.
Roy, O. (2010). The Crisis of Islamic Civilization. Harvard University Press.
Sachs, J. D. (2011). The Price of Civilization: Reawakening American Virtue and Prosperity. Random House.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
UNCTAD. (2022). Trade and Development Report 2022. United Nations Conference on Trade and Development.
UNDP. (2021). Arab Human Development Report 2021. United Nations Development Programme.