Pansus Ranperda Wisata Budaya Pulau Penyengat Tengah Bahas Tugas UPTD

Kapal kayu disebut penduduk Tanjungpinang Pompong menjadi satu satunya transportasi utama wisatawan untuk mengunjungi Wisata Religi di Pulau Penyengat. (f-aji anugraha)
Kapal kayu disebut penduduk Tanjungpinang Pompong menjadi satu satunya transportasi utama wisatawan untuk mengunjungi Wisata Religi di Pulau Penyengat. (f-aji anugraha)
Kapal kayu disebut penduduk Tanjungpinang Pompong menjadi satu satunya transportasi utama wisatawan untuk mengunjungi Wisata Religi di Pulau Penyengat. (f-aji anugraha)
Kapal kayu disebut penduduk Tanjungpinang Pompong menjadi satu satunya transportasi utama wisatawan untuk mengunjungi Wisata Religi di Pulau Penyengat. (f-aji anugraha)

PIJARKEPRI.COM, Tanjungpinang –  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tanjungpinang melalui Pansus Ranperda Wisata Budaya Pulau Penyengat tengah membahas tugas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) pengelolal Pariwisata Budaya Pulau Penyengat.

Sekretaris Paniti Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengelolahan Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat sebagai Wisata Budaya Kota Tanjungpinang, M Syahrial, di Tanjungpinang, Minggu (4/11) mengatakan, Pansus tengah merampungkan Perda tersebut.

Bacaan Lainnya

“Saat ini Pansus tengah membahas ketetapan pengelolaan tugas dan fungsi UPTD yang akan mengelola pariwisata Pulau Penyengat, retribusi dan sebagainya. Insyallah rampung dalam 2 bulan kedepan,” kata Syahrial.

Syahrial menjelaskan, di dalam Ranperda Wisata Budaya Pulau Penyengat yang tengah dibahas tesebut mengatur lebih spesifik mengenai pengelolaan wisata hingga tata cara berwisata di Pulau Penyengat.

Menurutnya, Perda tersebut sangat diperlukan, mengingat Penyengat sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), April 2018 lalu.

Penetapan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.112/M/2018 tentang Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional.

Ia mengatakan, mengacu dari pada Permendigbud tersebut, sudah tentu perlu tata cara lebih detail mengenai pengelolaan pulau penyengat.

“Kita berpikir bagaimana ada sebuah badan yang akan mengeloala pariwista disana dalam bentuk UPTD, badan ini yang akan mengelelola tata cara masuk penyengat seperti apa, seperti wisatawan dalam negeri atau pun luar negeri yang akan masuk, transportasi kesana, dan rangkaian kegiatan yang perlu dibahas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Syahrial mengungkapkan,  tugas dan fungsi implementasi dari Ranperda Pengelolahan Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat sebagai Wisata Budaya Kota Tanjungpinang, akan dijalankan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang melalui UPTD lainnya.

Kendati pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat merupakan tanggungjawab Disparbud Tanjungpinang, tak menutup kemungkinan sejumlah OPD akan turut terlibat dalam menjalankan Perda Pariwisata Pulau Penyengat tersebut.

“Di dalam UPTD yang akan menjalankan Perda tersebut lah yang akan menyertakan dinas terkait, seperti pengelolaan sampah, transportasi, penataan jalan. Dan ini tengah Pansus bahas,” ungkapnya.

Untuk diketahui, Pulau Penyengat merupakan kawasan cagar budaya yang terletak di wilayah administratif Kota Tanjungpinang, dengan luas lahan 94 hektare.

Dalam sistem pemerintahan kota, pulau ini merupakan wilayah Kelurahan Penyengat yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota.

Pulau Penyengat terbagi menjadi enam kampung yaitu Kampung Jambat, Kampung Balik Kota, Kampung Datuk, Kampung Baru, Kampung Bulang, dan Kampung Ladi.

Sementara untuk pembagian wilayah dalam Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 5 RW dan 11 RT. Secara umum topografi Pulau Penyengat bervariasi yaitu dalam dataran rendah sekitar 80 persen dan sisanya sebesar 20 persen.

Penetapan Penyengat sebagai cagar budaya nasional dikarenakan, pulau ini memiliki dua nilai strategis dalam konteks sejarah di wilayah bagian barat Indonesia.

Sebagai bagian penting dalam periode perang kerajaan Riau melawan VOC/Belanda (1782-1784) yang berakhir dengan gugurnya Raja Haji Fisabilillah. Penyengat juga merupakan benteng pertahanan Raja Haji dalam masa perang melawan BBelanda.
Sebagai pusat peradaban Melayu baik di bidang bahasa maupun kebudayaan. Dari Penyengat inilah goresan pena Raja Ali Haji menghasilkan karya berupa Kitab Bustan Al-Katibin, buku tata bahasa Melayu dan berupa pantun “Gurindam dua belas”.

Jika karya yang pertama telah menjadi dasar dan sumber pengembangan bahasa Indonesia, karya yang kedua memberi sumbangan besar bagi perkembangan dunia sastra Melayu dan Indonesia.

Pengaruh karya-karya Raja Ali Haji dalam perspektif kekinian telah melampaui batas-batas negara nasional Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei.

Hingga pada 1824, ketika kedua pihak belanda dan Inggris menandatangani Trakat London, Wilayah Johor, Riau (termasuk Bintan dan Penyengat), Lingga dan Pahang merupakan pusat pemerintahan yang berpindah-pindah yakni dari Johor, Bintan, Lingga, (Daik) dan kemudian Penyengat.

ANG

Pos terkait