Menilai Kewajaran Kampanye Caleg Bersama Kepala Daerah

PIJARKEPRI.COM, Tanjungpinang – Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) merancang dan menetapkan aturan main kampanye pemilu serentak 2019 yang dituangkan dalam PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye.

Masa kampanye mulai dibuka pada tanggal 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Peserta pemilu baik partai politik, bakal calon Dewan Perwakilan Daerah, maupun, bakal calon Capres dan Cawapres harus mengikuti regulasi yang sudah diatur KPU.

Bacaan Lainnya

Dalam PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye juga diatur metode-metode kampanye meliputi pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK), media sosial, iklan media massa, dan rapat umum.

Benyak fenomena menarik yang dapat dinilai dari proses kampanye para peserta Pemilu serentak 2019. Kebanyakan Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi mau pun kabupaten kota mulai ikut mengkampanyekan para Calon Legislatif (Caleg) baik yang maju di tingkat pusat hingga daerah.

Meskipun katanya tidak kampanye, namun tetap saja ada jargon para Caleg yang ikut disebut-sebut dalam setiap pertemuan bersama masyarakat, terlebih memperkenalkan para Caleg yang akan maju dihadapan publik, dalam konteks diluar jam kerja, akan tetapi tetap saja kepala daerah harus bersikap netral di saat pesta demokrasi berlangsung.

Bahkan, KPU pusat kedepan akan mengatur bagaimana Kepala Daerah dapat berkampanye bersama peserta Pemilu, asalkan diluar jam kerja.

Pengamat Politik menilai, peluangĀ  kepala daerah yang juga sebagai pemimpin Partai Politik tentunya lebih besar memenangkan para Caleg dari partai yang juga dipimpinnya.

“Ya ini konsekuensi dari sisitem politik kita hari ini yang membenarkan rangkap jabatan antara status sebagai pimpinan politik dan kepala daerah, sehingga akhirnya kebawa-bawa,” kata Pengamat Politik Stisipol Raja Haji Tanjungpinang, Hendri Sanopaka, di Tanjugpinang, (14/10).

Hendri menilai, persoal publik ketika melihat seorang kepala daerah yang identik dengan partai partai tertentu, dapat mengurangi keberpihakan secara netral dihadapan masyarakat.

“Sehingga akhirnya dia gak jadi memihak kekeseluruhan masyarakat. Seharusnya seorang kepala daerah itu adalah milik keseluruhan masyarakat, tidak hanya milik partai itu saja,” ungkapnya.

Untuk menilai wajar_kah seorang Caleg maju dengan cara berkampanye berdampingan bersama kepala daerah, pengamat menilai dari sudut pandang etika berpolitik dari kepala daerah tersebut dan para Caleg.

Fenomena menarik yang ditemui masyarakat saat para Caleg peserta Pemilu serentak 2019, ikut berkampanye saat mendapingi kepala daerah dalam suatu pertemuan bersama masyarakat, mau pun dalam kegiatan sosial di masyarakat. Menurut pengamat politik, ini tidak wajar.

“Sebenarnya ya tidak wajar, karena kalau dilihat dari etika politik, dia tidak beretika. tapi bagaimana pun, ini kan tahun politik, dimana, prosesi kampanye sudah dilaksanakan, peluang untuk kampanye sudah ada, meskipun untuk kampanye bersama kepala daerah tidak dibenarkan, tapi ini kesempatan,” ungkapnya.

Kendati peluang untuk berkampanye sudah dibenarkan sejak para Caleh ditetapkan sebagai DCT. Namun, pengamat menilai kampanye Caleg bersama kepala daerah dalam kesempatan tertentu dianggap kurang etis, terlebih jika para Caleg tampil kemudian berada di posisi bersama kepala daerah yang juga berkapasitas sebagai pimpinan partai.

“Sebagai pemimpin, kepala daerah juga harus menjaga kewibawaan, tidak membawa diri sebagai pimpinan partai. Ini agar dia tidak terseret-seret kearag politik dan tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik. Sementara para Caleg jangan mendompleng,” ujarnya.

Hendri menjelaskan, bagaimana seorang kepala daerah perlu memperhatikan statusnya sebagai pemimpin partai politik atau pejabat publik yang telah disumpah jabatannya untuk mengabdi kepada masyarakat dan tidak berpihak pada partai tertentu.

Menurut Hendri, permasalahan terbesar ketika seorang Caleg ikut mendompleng bersama kepala daerah, akan menjadi sorotan publik, dan menimbulkan pertanyaan, dimulai dari etika berpolitik yang dianggap tidak etis, hingga penggunaan anggaran kampanye yang diduga berasal dari anggaran kepala daerah tersebut.

“Secara etika berpolitik para Caleg bersama kepala daerah tidak wajar. Maka bisa jadi jika itu terjadi, bisa saja timbul pertanyaan, apakag anggaran yang digunakan untuk kampanye, anggaran kepala daerah yang memanfaat fasilitas negara atau memang benar anggaran dari para Caleg,” ujarnya.

Pengamat menilai, jika para Caleg dalam tahapan kampanye bersama kepala daerah, menjadi pertanyaan apakah anggaran yang digunakan Caleg tersebut bersifat pribadi atau sebaliknya

“Tidak menutup kemungkinan kalau seorang kepala daerah, ketika dia menggunakan fasilitas negara untuk beriringan dalam agenda salah satu Caleg, tentu menjadi pertanyaan dalam kapasitas apa, karena bisa saja menggunakan fasilitas suawasta tapi menggunakan fasiltas negara,” ujarnya

Selain itu pula, perlu adanya pengawasan ketat dari Bawaslu untuk mengawasi kepala daerah bersama para Caleg yang tengah berkampanye. Siapa tahu, kampanye calon legislator tersebut ikut memanfaat situasi, disaat Kepala Daerah tengah menggelar kegiatan di masyarakat.

“Maka lembaga pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengawasi. Terlebih posisi kepala daerah yang juga menjabat sebagai pimpinan partai tertentu sangat melekat, dan bisa jadi sangat rentan penyalahgunaan anggaran,” ungkapnya.

Diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memfasilitasi alat peraga kampanye (APK) Pilpres dan Pileg 2019. Diperkirakan, total dana yang akan digunakan untuk fasilitasi APK mencapai Rp 400 miliar.

Pewarta: Aji Anugraha

Pos terkait