Pesan Terakhir Sang Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Presiden Republik Indonesia I, Ir. Soekarno
Presiden Republik Indonesia I, Ir. Soekarno
Presiden Republik Indonesia I, Ir. Soekarno
Presiden Republik Indonesia I, Ir. Soekarno

PIJARKPERI.COM – PRESIDEN pertama Indonesia Ir Soekarno pernah menyampaikan pesan-pesan kepada keluarga dan rakyat Indonesia sebelum akhirnya ia meninggal dunia.

Penulis Cindy Adams dalam buku Soekarno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” menuliskan pesan terakhir Soekarno yang sering disebut putra sang fajar.

Bacaan Lainnya

Dalam catatan buku Soekarno yang sudah beberapa kali direvisi untuk memudahkan pembaca memahi isi dan makna dari kalimatnya, Soekarno menyampaikan beberapa pesan. Dalam tulisannya itu terdapat beberapa ungkapan.

Soekarno Tak Ingin dikebumikan dengan kemewahan, percakapan itu diungkapkannya.

“Presiden Sukarno, ucapkanlah keinginanmu,” maka keinginanku hanya untuk mati secara cepat dan tenang di atas tempat tidur. Bila sudah waktunya bagiku untuk pergi, aku hanya ingin menutup mata dan diantara pangkuan Tuhan Aku telah berpesan kepada kawan-kawan, agar jangan menguburku seperti Gandhi.

Teman akrabku, Pandit Jawaharlal Nehru, membangun kuburan Gandhi dengan segala macam hiasan. Ini terlalu mewah. Kalau aku kubikin buat Gandhi suatu tempat istirahat dengan pohon-pohon dengan burung-burung dan sebuah taman. Kembali kepada kesederhanaan kembali kepada alam dan nilai-nilai dasar dari manusia.

Memang, dia seorang pemimpin dunia dan harus diberi kehormatan sesuai dengan kedudukan, tapi aku tak henti-hentinya berpikir bahwa dia sendiri tidak menghendaki yang demikian.

Aku juga tidak mau begitu. Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus.

Aku ingin beristirahat di bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar dahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku dilahirkan.

Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen. Adalah selalu merjadi keinginanku agar peti matiku diselubungi dengan panji Muhammadiyah.

Teman-teman mengeluh, hal ini menimbulkan kesulitan, karena yang lain tentu akan mendesak agar pengguburanku diiringi pula oleh simbol-simbol mereka, atau yang lain lagi berkata, mengapa bukan memakai bendera Republik, Sang Saka Merah Putih, ini akan mennyebabkan kesulitan.

Aku tidak ingin mempersatukan saudara-saudaraku selagi aku masih hidup dan memecah-belahnya setelah aku meninggal, jadi biarlah seluruh bendera partai diselubungkan di atas peti matiku.

Mengenai satu hal aku tetap tidak bisa dibujuk. Aku tidak ingin semua gelarku dituliskan di atas batu nisanku, sehingga bunyinya:

“Di sini beristirahatlah Paduka Yang Mulia Doktor Insinyur Haji Raden Sukarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, pemimpin Besar Revolusi, Perdana Menteri, Mandataris MPRS, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Peperti, Pemimpin Tertinggi Front Nasional dan bagainya..,”

Kalau ini terjadi, maka arwahku akan berjalan kembali kedunia, karena tentu dia takkan bisa beristirahat dengan tenang dibawah semua nama itu. Jangan dibuat monumen yang megah untukku.

Apabila aku telah mencapai sesuatu selama di atas dunia, ini adalah rakyatku. Tanpa rakyatku aku tidak berarti apa-apa. Kalau aku mati kuburkanlah Bapakmu menurut agama Islam dan di atas batu kecil yang biasa engkau tulislah kata-kata sederhana:

“Di sini beristirahat Bung Karno, Peyambung Lidah Rakyat Indonesia”.

Presiden Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901. Ia meninggal dunia di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun.

Penulis biografi politik Sukarno, John D. Legge, menulis, pada hari itu, Hartini (istri Soekarno) dan Dewi (mantan istri Soekarno) memohon pada Presiden Soeharto agar Bung Karno bisa dimakamkan di lingkungan Istana Batutulis Bogor. Mereka ingin memenuhi keinginan Putra Sang Fajar.

Soeharto menolak permintaan itu. John D. Legge mengatakan, “Soeharto rupanya tidak ingin mendirikan suatu tempat ziarah yang terlalu dekat dengan Jakarta,”Sukarno akhirnya dimakamkan di Blitar, di samping makam ibundanya. (ANG)

Sumber : Cindy Adams – Penyambung Lidah Rakyat

Pos terkait