PIJARKEPRI.COM – Persoalan sempadan bangunan di Jalan Kampung Melayu kian memanas, menyusul kerusakan pagar milik Beni akibat cucuran atap gudang milik Hacuang yang selama ini dibiarkan tanpa penyelesaian.
Meski izin mendirikan bangunan (IMB) gudang Hacuang sudah terbit sejak tahun 2000 dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) milik Beni aman pada 2024, persoalan itu nyatanya bukan sekadar urusan izin, tetapi soal tanggung jawab atas dampak bangunan terhadap lahan tetangga.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Tanjungpinang, Rusli, menyebut pihaknya turun tangan memediasi karena ada laporan dari Beni soal pagar yang nyaris roboh akibat rembesan air dari atap Hacuang.
“Kalau tidak segera ditangani bersama, bisa rusak tanah dan bangunan di kemudian hari,” ujar Rusli, Selasa (27/5/2025).
Purba yakni perwakilan Beni, menegaskan pihaknya sudah berkali-kali menyampaikan keluhan itu, namun tak kunjung ada tindak lanjut. Bahkan, masalah ini sempat terdeteksi pihak Kelurahan Melayu Kota Piring, tetapi menguap begitu saja tanpa diteruskan.
“Kalau terus dibiarkan, bukan tidak mungkin tanah longsor terjadi dan gedung sempadan ikut rusak. Kami tidak mau disalahkan, padahal kami sudah beritikad baik menyampaikan persoalan ini,” kata Purba.
Permasalahan makin pelik karena, menurut Beni, pembangunan batu miring di batas sempadan selama ini justru membebani lahannya.
Ia menuntut agar ada ganti rugi, lantaran tanahnya makin menyempit, sementara pihak gudang tidak menyediakan ruang sempadan sebagaimana diatur Perda Tanjungpinang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung.
“Kami minta lahan kami diganti satu meter sepanjang sempadan, supaya bangunan batu miring bisa dibicarakan bersama dan tidak membebankan kami terus,” tegas Purba.
Dalam rapat mediasi yang dihadiri perwakilan Dinas PUPR, Camat Tanjungpinang Timur, Lurah Melayu Kota Piring, RT/RW setempat, serta kedua belah pihak, disepakati bahwa penyelesaian harus mengedepankan solusi kekeluargaan.
Menurut Rusli, dalam pertemuan tersebut, pihak Hacuang menyatakan kesediaan membangun batu miring bersama-sama, tetapi teknis pembagian tanggung jawabnya masih akan dirumuskan.
Lebih lanjut, Rusli menegaskan bahwa penyelesaian permasalahan ini bukan sekadar membenahi fisik pagar atau bangunan, tetapi juga memastikan semua pihak mematuhi ketentuan sempadan yang berlaku.
“Kalau mengacu aturan sekarang, memang ada kewajiban menyisakan satu meter batas tanah. Ini harus disepakati supaya masalahnya selesai baik-baik,” ucapnya.
Permasalahan ini menjadi cermin lemahnya pengawasan bangunan-bangunan lama yang berdiri tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang.
Jika dibiarkan, bukan hanya merugikan pemilik lahan yang terdampak, tetapi juga bisa memunculkan sengketa hukum yang berlarut-larut.
Pihak kelurahan dan kecamatan pun diharapkan tidak lagi menutup mata agar konflik seperti ini tak terulang di tempat lain.
Pewarta : Aji Anugraha