Menjaga Warisan di Tengah Arus Zaman: Tanjungpinang dan Jalan Sunyi Melestarikan Budaya
Oleh : Aji Anugraha
Di balik riuh gelombang modernisasi, Kota Tanjungpinang terus meniti jalan sunyi, menjaga napas warisan leluhur agar tak lekang ditelan waktu.
Di kota tua yang dahulu jadi jantung Kesultanan Riau-Lingga itu, budaya tak sekadar identitas, ia adalah nyawa yang terus dihidupkan, diwariskan, dan dirayakan.
Adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang yang menjadi garda terdepan dalam ikhtiar mulia ini. Di bawah kepemimpinan Muhammad Nazri, langkah-langkah strategis terus dirancang. Salah satunya, mengakuisisi dan mendaftarkan karya-karya budaya lokal ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.
“Ini bukan semata tentang pengakuan formal,” ujar Nazri, Kamis (10/4/2025). “Ini tentang harga diri masyarakat Melayu Tanjungpinang. Tentang bagaimana kita bertanggung jawab menjaga jejak para leluhur,” tambahnya.
Langkah-langkah pelestarian ini bukanlah gerakan tanpa arah. Ia sejalan sepenuhnya dengan visi besar yang diusung oleh Walikota Lis Darmansyah dan Wakil Walikota Raja Ariza, yakni “BIMA SAKTI”—akronim dari Berbenah Menuju Tanjungpinang Kota yang Berbudaya, Indah, Melayani, dan Aman.
Dalam visi itu, budaya bukan hanya pelengkap tata kota, melainkan jantung dari pembangunan karakter dan peradaban.
“Menjadikan Tanjungpinang sebagai Kota Budaya adalah misi yang hidup dalam tiap langkah pelestarian ini,” tegas Nazri.
Sejak 2022 sampai dengan 2024, beberapa warisan budaya Tanjungpinang telah resmi ditetapkan sebagai WBTb oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Sampan Apolo, Baju Belah Bentan, dan Baju Pesak Enam, tiga nama yang mungkin asing bagi telinga banyak orang, yang kini tercatat dalam lembar sejarah nasional.
Namun bagi warga Tanjungpinang, ketiganya bukan sekadar artefak budaya. Sampan Apolo misalnya, adalah saksi bisu peradaban bahari masyarakat pesisir. Sementara Baju Belah Bentan dan Pesak Enam mencerminkan keanggunan busana klasik Melayu yang sarat nilai.
Tak berhenti di situ, pemerintah kota juga tengah mengajukan sejumlah karya budaya lain. Tari Boria Penyengat dan Zapin Penyengat kini sudah terdokumentasi dalam pusat data Kekayaan Intelektual Komunal (KIK)
Khusus Zapin, Nazri menyebut tarian itu sebagai wujud kesantunan Melayu. “Geraknya lembut, maknanya dalam. Ini adalah bentuk syukur kepada tamu, cerminan karakter masyarakat kita,” imbuhnya.
Pelestarian budaya, lanjutnya, tak cukup dengan niat baik. Ada proses panjang yang harus dilalui, mulai dari dokumentasi audiovisual hingga pengurusan administratif. Semua harus lengkap dan memenuhi syarat kementerian.
“Kami siapkan semuanya, karena ini perjuangan lintas generasi,” ujarnya.
Di ruang lain kantor dinas, Dewi Kristina Sinaga, Kepala Bidang Adat Tradisi, Nilai Budaya, dan Kesenian, tengah menyiapkan sejumlah lagi warisan budaya yang hendak diajukan tahun ini: diantaranya uapacara pijak tanah mekah, aqiqah dan Air Dohot.
Kuliner Air Dohot merupakan hidangan penutup dari Pulau Penyengat ini pernah menjadi sajian kebesaran di masa Kesultanan.
“Air Dohot bukan hanya soal rasa. Ini adalah cerita yang dituangkan ke dalam cangkir,” ujar Dewi sambil tersenyum.
Empat karya lain pun sedang dipersiapkan untuk tahun 2026: Baju Gunting Pahang, Baju Potong Cine, Upacara Tanggal Pusat dan Cara Berkain Perempuan Melayu.
“Semua ini punya nilai filosofis. Kita jaga bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk terus dipakai dan dijalankan,” imbuhnya.
Namun di balik setiap pengajuan, ada sosok-sosok penjaga budaya yang tak banyak dikenal publik. Mereka adalah para maestro, seperti Syafaruddin—Pamong Budaya Ahli Madya—yang dengan sabar menjaga eksistensi Sampan Apolo, atau Raja Suzanna Fitri, perempuan tangguh yang setia merawat busana tradisional Melayu dari generasi ke generasi.
Begitu juga dengan Rendra Setyadiharja, pengarang dan penulis berjilid edukasi kebudayaan melayu di Kepulauan Riau, serta R Parida yang selalu memperkenalkan tata cara berpakaian melayu untuk perempuan.
“Keberhasilan ini bukan kerja instansi saja, tapi gotong royong para pelaku budaya,” kata Dewi, lirih namun penuh kebanggaan.
Dan di tengah arus zaman yang bergerak cepat, pesan Syafaruddin terasa menohok. “Budaya hanya hidup bila kita menghidupkannya. Mari kita jaga, bukan untuk masa lalu, tapi demi masa depan,” ungkapnya.
Tanjungpinang mungkin tengah berbenah, namun satu hal yang tak ingin ia tinggalkan: jati dirinya sebagai kota budaya. Di sini, budaya bukan hanya cerita. Ia adalah sikap. Ia adalah perlawanan diam terhadap lupa.