OPINI – Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat spesial bagi kaum muslimin, betapa tidak di bulan ini Allah SWT memberikan kesempatan bagi hamba-Nya untuk memperbaiki serta meningkatkan sisi kerohanian seorang hamba. Sisi kerohanian tersebut diperbaiki dengan berbagai aktivitas di dalam bulan ramadhan itu sendiri seperti puasa, qiyam lail, tadarus al-Qur’an, memperbanyak sedekah dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu adalah dalam rangka memperbaiki dan menaikkan sisi kerohanian manusia. Namun jauh dari hal diatas ramadhan sebenarnya berfungsi sebagai “sistem reset (pengaturan ulang) bagi insan (manusia). Pikiran ramadhan sebagai medium reset ini diilhami dari bacaan penulis terhadap buku Nasoih al-Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani yang menyebutkan bahwa “semua yang diperintahkan oleh Allah SWT itu pada dasarnya mengandung dua hal, yaitu mengagungkan Allah SWT dan berbelas kasih kepada mahluk-Nya”. Bukankah kedua hal itu adalah merupakan essensi tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba yang mengabdikan diri kepada Allah SWT “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Ku” (QS. al-Dzariyat: 56). dan memberikan kemakmuran diatas muka bumi “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi” (QS. al-Baqarah:30). Maka bisa dikatakan ini adalah pengaturan awal bagi manusia. Kedua hal tersebut diatas kemudian dikembangkan menjadi hal yang lain yang sejatinya memang ada wujud pengaruhnya di bulan ramadhan.
Adapun yang dimaksud penulis dalam tulisan ini maksudnya ramadhan medium reset bagi insan adalah ramadhan menjadi media, alat ataupun sarana reset (pengaturan ulang) bagi manusia sebagaimana yang digaris besarkan pada apa yang dikemukakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani diatas sebagai punca dari pensyari’atan sesuatu kepada manusia. Ramadhan sebagai medium reset bagi manusia dapat ditilik dari berbagai dimensi, diantara dimensi tersebut adalah:
Pertama, reset spiritual. Ramadhan dalam hal ini terutama ibadah puasa (wajib) dan ibadah lainnya (sunnah) membentuk kesadaran akan kehadiran Allah SWT (God consciousness) sebagaimana perjanjian (pengaturan awal) sebelum manusia dilahirkan di muka bumi yang terdapat pada surat al-a’raf ayat 172: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini” (QS. al-A’raf: 172). Puasa ramadhan juga menegaskan fungsinya sebagai mekanisme ampunan dan pemurnian spiritual sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tidak hanya setakat itu, ramadhan juga mengarahkan seorang hamba pada situasi “muraqabah” dimana dirinya menyadari bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi setiap niat dan tindakannya.
Kedua, reset psikologis, pada penelitian di era kontemporer ini didapati bahwa puasa ramadhan memiliki implikasi positif terhadap kesehatan mental, praktik puasa yang dilakukan dengan kesadaran penuh dapat menurunkan tingkat stres (Akan dkk., 2023). Selain itu puasa melatih manusia dalam hal pengendalian diri (self-restraint) yang tidak hanya pada aspek fisik tapi juga aspek pengendalian emosi, pikiran dan perilaku. Hal ini bisa dijumpai dari hadis Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari).
Ketiga, reset fisik. Ramadhan selain menawarkan reset spiritual dan psikologis juga reset fisik, pemulihan kesehatan fisik. Pada era ini tentu khalayak tidak asing dengan puasa intermiten. Puasa intermiten adalah puasa yang dilakukan dengan makan seperti biasa selama beberapa hari dalam 1 minggu, dan berpuasa di hari-hari lain. Puasa dapat dilakukan dengan sama sekali tidak makan selama jangka waktu tertentu, atau sekedar mengurangi kalori yang masuk. Puasa yang dilakukan selama bulan ramadhan memiliki dampak terhadap metabolisme, sistem kardiovaskular dan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap radikal bebas. Nabi Muhammad SAW jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa puasa itu akan membuat fisik menjadi sehat, “Berpuasalah, maka kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu’aim).
Keempat, reset sosial. Bulan ramadhan tidak hanya sekedar ibadah ritual individual tetapi juga berorientasi pada ibadah yang berdimensi sosial. Hal itu bisa ditunjukan dalam praktiknya, puasa memupuk nuansa empati kepada sesama manusia, manakala seorang puasa merasakan bahwa dirinya sedang dalam keadaan lapar sebagaimana saudaranya yang lain yang barangkali sedang dilanda musibah atau nasib yang tidak dapat memenuhi asupan makanan secara baik, bahkan dalam sabdanya Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang memberi buka orang puasa, maka baginya pahala semisalnya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.” (HR. Tirmizi, 807. Ibnu Majah, 1746. Dan dishohehkan oleh Ibnu Hibban. Aktivitas yang dilakukan selama ramadhan seperti shalat tarawih berjama’ah, bertadarus berjama’ah, buka bersama (iftar al-jama’I) serta lain bisa menjadi mediator silaturahim antar sesama sehingga terciptalah kondisi kehangatan sosial yang tadi tidak saling mengenal atau kekurangakraban menjadi lebih dekat dan erat lagi. Dimensi sosial yang juga terlihat dari ibadah puasa adalah digalakkannya shadaqah serta pembayaran wajib zakat fitrah.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “Zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor, serta untuk memberi makan orang miskin.” (HR. Abu Dawud). Aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan diatas akan memperkuat kohesi sosial serta membangun solidaritas antar komunitas. Di tengah masyarakat modern yang cenderung individualistik, dimensi sosial ramadhan seperti ini menawarkan mekanisme untuk merekatkan kembali elemen-elemen masyarakat yang terfragmentasi.
Diakhir tulisan ini, mari kita merenungkan kembali bahwa ramadhan yang hadir ditengah-tengah kita saat ini hendaknya menjadi medium reset bagi manusia, agar kembali kepada pengaturan awal dan pada lajurnya sehingga mampu menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Sang Maha Kuasa Allah SWT, melalui pembiasaan selama 29 atau 30 hari rasanya cukup bagi manusia untuk melakukan kultivasi untuk membawa kebaikan ramadhan ke bulan-bulan di luar ramadhan.
Abd. Malik Al Munir ( Komisi Dakwah MUI Kota Tanjungpinang)