Negara Ditengah Konflik Rempang dan Galang

Bentrok aparat degan Warga Rempang dan Galang, di Batam saat upaya sterilisasi rencana relokasi warga Rempang dan Galang, upaya investasi perusahaan asing di daerah itu, Jumat (8/9/2023). (Foto: aji/pijarkepri.com)
Bentrok aparat degan Warga Rempang dan Galang, di Batam saat upaya sterilisasi rencana relokasi warga Rempang dan Galang, upaya investasi perusahaan asing di daerah itu, Jumat (8/9/2023). (Foto: aji/pijarkepri.com)

PIJARKEPRI.COM – Konflik relokasi atau penggusuran warga Rempang dan Galang oleh Badan Pengusaha Batam, daerah otorita di Kepulauan Riau mencuat dalam sepekan September 2023.

Penolakan warga rempang lewat unjuk rasa untuk direlokasi ke wilayah yang ditentukan BP Batam belum terwujud terus berlangsung, mulai 8 September 2023 hingga Sabtu, 9 September 2023 kemarin.

Bacaan Lainnya

Sejumlah video bentrok aparat penegak hukum dengan warga Rempang dan Galang itu menyebar luas di media sosial facebook, tiktok, youtube, instagram, di Kepulauan Riau.

Bentrokan antara warga dan aparat tak terelakkan lagi setelah BP Batam meminta TNI, Polri dan tim gabungan mendatangi wilayah Rempang dengan tujuan mensterilisasi lokasi rencana investasi perusahaan asing di daerah itu.

Bentrokan itu menunjukkan bagaimana warga Rempang dan Galang masih melakukan perlawan lewat aksi berbagai cara masyarakat mendorong aparat keamanan untuk tidak masuk ke tempat mereka bermukim sampai saat ini.

Sejumlah video yang diunggah netizen disejumlah media sosial memperlihatkan warga terdiri dari orang tua hingga anak-anak ikut serta dalam aksi penolakan relokasi warga Rempang dan Galang ke lokasi yang ditentukan BP Batam.

Teriakan histeris seorang ibu rumah tangga, pria lansia bersimbah darah hingga anak-anak sekolah yang sesak akibat gas air mata aparat penegak hukum saat mensterilisasi Rempang dan Galang menyebar luas di media sosial.

Kondisi itu menunjukkan manusia yang hidup dan bermukim di wilayah NKRI kemudian disebut Warga Negara Indonesia (WNI) dan berkedudukan sebagai Warga Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau masih menuntut hak kepada Negara untuk mendapatkan keadilan.

Adil yang warga Rempang dan Galang maksud adalah tetap bermukim di lokasi tempat mereka tinggal saat ini dan tidak dipindahkan ke area relokasi dengan segala fasilitas yang dijanjikan BP Batam.

Hampir seluruh warga Rempang dan Galang yang menolak direlokasi tidak memiliki hak dasar kepemilikan tanah. Kendati demikian mereka merupakan penduduk yang sudah puluhan tahun menempati Rempang dan Galang dari para leluhur mereka yang berjuang bersama para petinggi Kesultanan Riau Lingga Johor Pahang melawan para penjajah.

Budayawan Melayu Kepulauan Riau, Raja Malik Hafrizal, di Tanjungpinang, Minggu (10/9/2023) dalam selayang pandang Rempang, Galang dan perannya pada Imperium Melayu
menyebutkan Rempang dan Galang tidak sebatas hanya kawasan yang berada di bawah administrasi Kota Batam Kepulauan Riau, tetapi adalah tempat bersejarah yang masyarakatnya memainkan peranan yang besar pada jatuh bangunnya Imperium Melayu di kawasan ini.

Hal itu tercatat pada perjalanan sejarah orang Rempang dan Galang sebagai pasukan laut utama Kerajaan Melaka pada abad ke 15.

“Mereka menjaga, memelihara bahkan “menggarau” laut selat Melaka sebagai pasukan laut yang tangguh. Kemahiran mereka tentang laut dan pulau, beting dan karang, angin dan ombak tak perlu disangsikan lagi.
Perkataan “Galang” melekat pada mereka ketika tugas untuk melabuhkan kapal-kapal besar ke laut untuk siap berlayar melintas lautan,” ungkapnya.

Raja Malik Hafrizal menyebutkan, kemahiran orang Rempang dan Galang sebagai pasukan laut dibuktikan ketika mereka ikut berperang di pihak Raja Kecik yang waktu itu mengaku sebagai waris Sultan Mahmud lll (Mangkat dijulang) ketika mengalahkan Sultan Abdul Jalil IV.

“Merekalah yang disebut pasukan orang laut, yang sangat ditakuti oleh lawan dari manapun,” kata Raja.

Ia mengutarakan Fase kepahlawanan orang Rempang dan Galang seterusnya ketika masa Kerajaan Riau Lingga.
Seorang Panglima Galang yang paling ditakuti oleh penjajah Belanda dan Inggris bernama Raja Alang Dilaut.

“Dialah Raja dilaut yang sekian kalinya “kengeruhkan” laut selat Melaka sebagai bangsa Terbilang,” kata Raja Malik, yang juga keturunan Raja Haji Fisabilillah.

Belanda dan Inggris menyebut Raja Alang Dilaut sebagai ketua angin Lanun yang mengganggu dan memporak-porandakan kepentingan orang Eropa di laut. Akan tetapi bagi orang Melayu dia adalah wira dambaan di setiap hati sanubari.

Panglima Galang yang bernama Raja Alang Dilaut gugur sebagai Wira pada perang yang dikobarkan pihak Belanda dan Inggris pada satu ekspedisi ke Pulau Galang pada 1836.

Keturunan Panglima Raja Alang Dilaut selanjutnya berpindah ke Singapura dan sebagian ke Pulau Karas yang tidak jauh dari Rempang dan Galang.

Estafet kepahlawanan orang Rempang dan Galang berlanjut ketika Pemakzulan Sultan Abdul Rahman Mu’adzam Syah, Sultan Kerajaan Riau-Lingga oleh pemerintah Belanda.

Batin Limat bin Limbang mengumpulkan semua pengikutnya dan menyembahkan maksud kepada Sultan Abdul Rahman untuk berperang saja dengan Belanda.

“Biar putih tulang dari pada berputih mata sembahnya,” ungkap Raja Malik.

Pada masa pendudukan Jepang di Riau atau saat ini Kepulauan Riau, para pemuda Rempang dan Galang ikut menjadi bagian dari tentara Gyu Tai (penjaga pulau) tang direkrut tentara Jepang.

Setelah kekalahan Jepang pada perang dunia ke ll, eks Tentara Gyu Tai berubah dan membentuk Batalyon Kepulauan Riau yang merupakan cikal bakal perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Riau atau saat ini disebut Kepulauan Riau.

“Orang Rempang dan Galang ikut dalam episode sejarah perjuangan bangsa Indonesia itu,” ungkap Raja Malik.

Ia turut mengkritik kebijakan pemerintah pusat melalui BP Batam untuk mengeksekusi dalam bentuk merelokasi atau menggusur warga Rempang dan Galang ke area yang mereka janjikan demi investasi pembangunan perusahaan asing di daerah itu.

Menurutnya, sejarah orang-orang Rempang dan Galang dalam perjalanan bangsa Indonesia merupakan bentuk pengabdian tertinggi kepada negara yang perlu dipikirkan agar menjadi nilai positif dalam sisi kemanusian.

“Kurang apalagi bakti yang telah kami berikan pada bangsa ini sehingga diperlakukan sebagai bangsa yang terhina bahkan mau diusir dari tanah moyang kami. Atau akan bergema lagi kah pekik Fisabilillah seperti yang terjadi pada abad-abad lalu,” ungkapnya.

Raja Malik mengutarakan pesan kepada pemimpin daerah di Kepulauan Riau, terkhusus Batam dan pemerintah pusat agar menghentikan relokasi atau penggusuran warga Rempang dan Galang yang saat ini bermukim di tanah itu.

“Ingatlah tuan-tuan bahwa kami bangsa Melayu adalah saudara anda sendiri. Ingatlah tuan-tuan jika marwah kami diinjak sudah pasti kami lawan. Dan darah yang mengalir di tubuh kami adalah juga warisan darah para pejuang dan pemberani. Pada Allah SWT kami berserah,” pungkasnya.

Tidak hanya Raja Malik Hafrizal yang menyuarakan penolakan rayuan relokasi penduduk Rempang dan Galang oleh BP Batam dan Investor asing. Sejumlah organisasi kemasyarakatan, LSM hingga ormas melayu di Kepulauan Riau juga menolak BP Batam merelokasi warga.

Salah satunya Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau yang juga menerbitkan maklumat yang isinya menolak BP Batam merelokasi atau menggusur warga Rempang dan Galang.

Ketua Umum Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, Dato’ Sri Setia Utama H. Abd. Razak Ab dalam Maklumat Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, tentang Masyarakat Melayu Rempang Galang No. 001/LAM-KEPRI/IX/2023 menyebutkan ;

Berdasarkan hasil musyawarah Pengurus Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau pada hari Jumat tanggal 8 September 2023 Miladiah bersamaan dengan 22 Syafar 1445 Hijriyah Di Kantor Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau di Tanjungpinang, tentang permasalahan masyarakat Melayu di Pulau Rempang dan Pulau Galang, maka Lembaga Adat Melayu Menyatakan Sikap sebagai berikut:

1. Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau sebagai payung negeri mendukung sepenuhnya program pemerintah untuk pembangunan di segala bidang baik di pusat maupun di daerah. 2. Batalkan rencana relokasi 16 Kampung Tua masyarakat Melayu yang ada di Pulau Rempang dan Pulau Galang.

3. Membebaskan seluruh masyarakat yang ditahan akibat peristiwa yang terjadi pada tanggal 7 September 2023.

4. Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau mengutuk keras tindakan refresif, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh tim gabungan terhadap masyarakat pulau Rempang dan pulau Galang yang terjadi pada tanggal 7 dan 8 September 2023 sehingga masyarakat mengalami cedera, trauma dan kerugian materi.

5. Mendesak Presiden RI, Kapolri, Panglima TNI, DPR RI, DPD RI, Gubernur, DPRD Kepri, Kapolda, DPRD Kota Batam, Walikota Batam, BP Batam dan semua Stakeholder terkait menghentikan segala tindakan kekerasan.

6. Mendesak pemerintah membuat kesepakatan tertulis dengan masyarakat Melayu di Pulau Rempang dan Pulau Galang terkait dampak jangka pendek dan jangka panjang dari Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Purna Prakarya Muda Indonesia (PPMI) Kepulauan Riau juga mengkritik kebijakan Kepala BP Batam sekaligus Walikota Batam M Rudi yang dinilai menjadi inisator relokasi warga Rempang dan Galang.

Ketua PPMI Kepri, Andreas Pebrico kepada pijarkepri.com menyebutkan, BP Batam telah mengabaikan hak warga negara indonesia (WNI) di Rempang dan Galang untuk tetap tinggal dan hidup di daerah itu.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 H ayat (1), menyebutkan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ia meminta agar Walikota Batam M. Rudi dapat temui warga dan berdialog lah bersama warga cari solusi atas permasalahan yang sedang terjadi di Rempang dan Galang, Batam.

“Jangan biarkan warga berbenturan dengan aparat. Mereka itu warga bapak, temui mereka, dengar apa yang ingin mereka sampaikan, jangan pula aparat yang dikirim ke sana untuk berhadapan dengan mereka,” ungkapnya.

Ia mengutarakan rasa haru, kasihan dan miris ketika melihat banyak anak, siswa sekolah yang terkena gas air mata dan bahkan berhamburan hingga ke hutan demi menyelamatkan diri dari tindakan represif aparat pengamanan.

Ia melihat banyak siswa yang mendapat pertolongan medis akibat dari gas air mata pada rencana Relokasi BP Batam ketika mengerahkan Polisi dan TNI, 8-9 September 2023.

“Apakah tunggu ada korban jiwa baru pak wako turun dan menjumpai warga. Kita ini di tanah Melayu pak, warganya santun-santun, kita yakin dan percaya warga akan mau di ajak berdialog untuk mencari solusi, asalkan bapak hadir di tengah-tengah mereka,” ungkapnya.

“Kita juga meminati negara hadir untuk segera menyelesaikan permasalah ini, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, akan tetapi memberikan solusi terbaik,” tambahnya.

Namun hingga saat ini warga Rempang dan Galang masih menolak untuk di relokasi ke tempat yang dijanjikan BP Batam upaya investasi perusahaan asing yang masuk ke Indonesia.

Hingga sampai saat ini redaksi pijarkepri.com belum mendapatkan keterangan resmi mengenai rencana relokasi Rempang dan Galang, kegunaan, dan dugaan intimidasi melalui humas BP Batam secara narahubung mau pun pesan digital, email upaya konfirmasi.

Pewarta : Aji Anugraha

Pos terkait