
PIJARKEPRI.COM, Jakarta – Memaknai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc dapat menyesatkan dan perlu diluruskan. Hal ini penting agar tujuan mulia dibentuknya KPK sebagai lembaga negara yang independen, kuat, dan permanen tidak tercederai dengan pemahaman yang keliru dan menyalahartikan istilah ad hoc sebagai suatu yang bersifat sementara.
Arti ad hoc bukanlah sementara, melainkan untuk tujuan khusus/tertentu. Ini sesuai dengan arti ad hoc menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) dan Wikipedia dimana ad hoc adalah sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian atau penelitian.
Istilah ini memiliki arti “dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja” atau sesuatu yang “diimprovisasi”. Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini.
Jika yang dimaksud suatu yang bersifat sementara, maka istilah yang benar dalam bahasa Latinnya adalah ad interimbukan ad hoc. Hal ini dapat dilihat dalam Black’s Law Dictionary, ad hoc artinya: formed for a particular purpose (Latin). Sedang ad interim artinya: in the meantime, temporarily (Latin). Jadi, istilah ad hoc saat ini sering disalahartikan dan bergeser jauh dari makna yang sebenarnya.
Memaknai KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting karena KPK berdasarkan sejarah pembentukannya memang bukan lembaga yang dibentuk untuk sementara waktu (ad interim), melainkan sesuai dengan semangat penciptaannya KPK disiapkan sebagai lembaga negara yang permanen, kuat dan independen (bebas dari pengaruh kekuasaan manapun) dengan tujuan khusus (ad hoc dalam pengertian yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari korupsi.
Hal ini senada dengan pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan KPK adalah lembaga permanen karena KPK dibentuk dengan Undang-undang bukan Inpres (www.jimly.com). Perlu digarisbawahi bahwa istilah lembaga ad hoc tidak ada dalam hukum tata negara.
Apabila kita baca secara seksama UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak ada satu pasal pun dalam UU tersebut yang menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc, demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya.
Lalu bagaimana bisa dikatakan KPK lembaga ad hoc? Harus diakui secara jujur dan adil bahwa sejak didirikannya pada tahun 2003 KPK telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Jika masa sebelum adanya KPK banyak kasus korupsi yang tak tersentuh hukum, khususnya yang melibatkan para penguasa, namun sejak KPK berdiri sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani dan dijatuhi hukuman.
Dalam kurun waktu 2004 sd Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para koruptor kelas kakap ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus bersalah (100% conviction Rate).
Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior, Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I &II (Direktur Umum, Sekretaris Jenderal, Deputi, Direktur, dll), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat dalam korupsi.
Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya.
Data ini akan terus bertambah seiring banyaknya kasus korupsi yang saat ini sedang ditangani/disidangkan di Pengadilan Tipikor baik di Jakarta maupun di daerah.
Apabila kita perhatikan beberapa lembaga sejenis KPK yang pernah dibentuk di Indonesia, seperti Operasi Militer di tahun 1957, Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Operasi Tertib (Opstib) pada tahun 1977, Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak pada tahun 1987, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) tahun 2005. Semuanya tidak efektif dan tidak mampu menghadapi derasnya arus korupsi di tanah air tercinta ini yang sudah merajalela. Inilah salah satu alasan mengapa dibentuk KPK sebagai lembaga antikorupsi yang kuat, permanen dan punya taring dalam memberantas korupsi.
Alasan lain KPK lembaga permanen adalah tidak ada satu pun instansi Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan tindak pidana korupsi dalam artian memiliki mandat khusus seperti menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi dan melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum.
KPK juga berwenang meminta laporan instansi terkait pencegahan korupsi. Dalam penjelasan UU KPK secara tegas disebutkan bahwa KPK sebagai trigger mechanism, yaitu berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh KPK.
Dalam tugas monitor korupsi, KPK juga melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Selain itu, KPK dibiayai oleh APBN dan dimungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi. Korupsi bukanlah kejahatan biasa melainkan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka cara menanganinya juga diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary), tidak konvensional. Masalah korupsi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat, terlebih ketika masih ada kekuasaan. Bagaimanapun juga kekuasaan potensial terjadi korupsi (power tends to corrupt), maka selama itu pula lembaga KPK harus ada.
Selain itu, melihat perkembangan tindak pidana korupsi di berbagai negara di dunia yang cenderung sudah menjadi kejahatan internasional (transnational crime), maka PBB mengeluarkan konvensi antikorupsi (UNCAC) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2006. Artinya Indonesia sangat mendukung pemberantasan korupsi di dunia dan saat ini Indonesia aktif dalam berbagai forum Internasional pemberantasan korupsi seperti IAACA, G20, APEC, dan ASEAN.
Oleh karena itu, Indonesia memang memerlukan lembaga permanen yang khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi, sebagaimana halnya di kebanyakan negara-negara di dunia yang telah membentuk lembaga khusus antikorupsi yang bersifat permanen. Seperti Hongkong (ICAC), Singapura (CPIB), Malaysia (MACC), Thailand (NACC), Nigeria (EFCC) dan lain-lain. Apabila penanganan tindak pidanan korupsi (penindakan) hanya diserahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum lain, dapat dibayangkan kesulitan dan beban kerja yang harus mereka hadapai, sedangkan mereka sudah terlalu banyak disibukkan oleh penanganan perkara tindak pidana umum yang demikian banyak dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
KPK adalah milik bangsa Indonesia, bukan orang per orang atau golongan. Oleh karenanya memperkuat KPK agar tetap profesional dan independen adalah tanggungjawab kita bersama agar KPK tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan mampu menjawab harapan publik untuk mempercepat mencapai tujuan nasional.
Kita perlu melihat keberhasilan negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi yang didukung penuh oleh pemerintah dan parlemennya, bahkan memasukkannya dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar), seperti Singapura (CPIB) yang dibentuk tahun 1952, KPK Malaysia (MACC) yang dibentuk tahun 1967, KPK Hongkong (ICAC) yang dibentuk tahun 1974, dan KPK Argentina (1999). Kalau tidak, berarti kita rela menyerahkan masa depan bangsa ini kepada koruptor.
Zulkarnain, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dimuat di Koran Tempo, 10 Juli 2012