PIJARKEPRI.COM – Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) melalui program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum (BINMATKUM) menggelar kegiatan Penerangan Hukum dengan tema “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”, di Kantor Kecamatan Tanjungpinang Kota, Jumat (25/07/2025)
Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kepri, Yusnar Yusuf, S.H., M.H., bersama tim yang terdiri dari Rama Andika Putra, Rafki Mauliadi, A.Md.T., S.Kom., M.Kom., dan Syahla Regina.
Sosialisasi ini diikuti oleh aparatur pemerintah se-Kecamatan Tanjungpinang Kota, termasuk camat, para lurah, Babinsa, Bhabinkamtibmas, tokoh masyarakat, anggota PKK, hingga perwakilan warga dengan total peserta sekitar 60 orang.
Dalam paparannya, Yusnar menjelaskan bahwa istilah perdagangan orang merujuk pada Trafficking in Persons sebagaimana tercantum dalam UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, yang dikenal dengan Protokol Palermo. Protokol ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2009.
“Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007, perdagangan orang mencakup tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan berbagai cara seperti ancaman, kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan hingga jeratan utang, untuk tujuan eksploitasi,” jelas Yusnar.
Ia menegaskan bahwa TPPO merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Kejahatan ini bersifat lintas negara dan sering melibatkan sindikat internasional, dengan korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.
Berbagai bentuk TPPO di antaranya eksploitasi seksual, perdagangan anak, kerja paksa, perdagangan organ, hingga perbudakan domestik.
Modus yang umum terjadi antara lain rekrutmen Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara ilegal, pengantin pesanan, penculikan, hingga magang pelajar yang disalahgunakan.
“Kepri menjadi daerah asal sekaligus transit TPPO karena letaknya yang sangat dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Pada 2024, Kepri termasuk 10 provinsi penyumbang korban TPPO terbesar di Indonesia,” ungkap Yusnar.

Ia juga menguraikan dampak TPPO yang sangat serius, mulai dari trauma fisik dan psikis korban, stigma sosial, hingga kerusakan citra negara di mata internasional.
Selain itu, TPPO menyebabkan kerugian ekonomi akibat hilangnya potensi sumber daya manusia.
Upaya pencegahan, lanjut Yusnar, harus melibatkan edukasi masyarakat, penguatan regulasi, pemberdayaan ekonomi, dan pengawasan terhadap agen tenaga kerja.
Sementara pemberantasan TPPO memerlukan penegakan hukum yang tegas, perlindungan dan rehabilitasi korban, serta kerja sama lintas sektor dan antarnegara.
“Kami berharap masyarakat Tanjungpinang Kota aktif dalam upaya pencegahan dengan mengikuti penyuluhan, memberikan informasi jika ada indikasi TPPO, dan waspada terhadap tawaran kerja mencurigakan,” ujar Yusnar.
Ia menegaskan bahwa pemberantasan TPPO tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, LSM, hingga lembaga internasional.
“TPPO adalah bentuk perbudakan modern. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi luka kemanusiaan. Sudah saatnya kita lebih peduli dan bertindak bersama. Jangan sampai keluarga, kerabat, atau tetangga kita menjadi korban,” tutupnya.
Melalui pendekatan hukum yang tegas, perlindungan korban yang berkeadaban, serta sinergi lintas sektor, Kejati Kepri optimistis Kepulauan Riau dapat menjadi benteng kuat dalam melawan TPPO.
(ANG)







