PEMUKIMAN penduduk di perbatasan Tanjungpinang dan Bintan tepatnya, di Surau Jabal Rahmah mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas, Jumat 17 Februari 2023 pagi itu.
Sebagian warga Perumahan Bukit Merpati Putih dan sekitarnya mulai bergotong royong membersihkan pekarangan surau yang mereka bangun seadanya dua tahun terakhir itu.
Amir, merupakan satu diantara pengurus surau mulai mengajak warga membenahi sebagian dinding-dinding baleho bekas menjadi pembatas dinding-dinding tempat ibadah umat muslim di perumahan itu.
“Besok kita memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1444 Hijriah, di surau kita,” kata Amir.
Surau Jabal Rahmah tempat memperingati Isra Mi’raj itu merupakan tempat ibadah umat muslim sementara, di Perumahan Bukit Merpati Putih, Jalan Ganet, Kelurahan Pinang Kencana, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang.
Surau Jabal Rahmah terbilang sangat sederhana, sebagai surau yang berada di pusat kota, Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang .
Dua tahun berlalu warga setempat membangun surau itu dengan bahan seadanya, mulai dari kayu-kayu tiang yang diambil dari pinggiran hutan lokasi perumahan, atap dan semenisasi lantai dari swasembada warga, hingga sajadah bekas dari Masjid-masjid sekitar Tanjungpinang Timur, serta lahan surau yang masih dipinjamkan developer dan sudah habis masa waktu pinjam.
Keinginan warga membangun tempat ibadah umat muslim terdekat menjadi motivasi tersendiri, meski pengembang tak juga menyiapkan prasarana sarana dan utilitas umum perumahan itu. Salah satunya rumah ibadah, seperti surau/masjid.
“Yang terpenting kita sudah berusaha untuk membangun tempat ibadah terdekat penduduk disini, agar kelak warga dan anak-anak dapat beribadah dan belajar agama lebih baik,” kata Ijal, warga Bukit Merpati Putih.
Tahun ini (2023), Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kembali membantu warga Perumahan Bukit Merpati Putih membangun Masjid di lahan berbeda, namun masih berada di perumahan itu, dan masih dibangun bertahap.
Selain membersihkan pekarangan surau, mengganti baleho dengan terpal, mengecat kayu-kayu pembatas dinding, dan membersihkan karpet sajadah, warga juga mulai mempersiapkan hidangan untuk Peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang akan berlangsung pukul 19.45 WIB.
Kediaman Nurhayati menjadi tempat ibu rumah tangga di perumahan itu menyusun beragam kue-kue dan air sumbangan dari setiap warga di Perumahan Bukit Merpati dan sekitarnya. Menghidangkan makanan dan minuman saat acara-acara besar keagamaan sudah menjadi tradisi penduduk setempat.
“Sudah dari sore mereka mempersiapkan kue-kue itu,” kata Emi, warga Bukit Merpati Putih.
Usai melaksanakan Shalat Isha, warga berduyun-duyun mendatangi Surau Jabal Rahmah. Ini adalah tahun ke dua Pelaksanaan memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW berlangsung di surau sementara itu.
Biasanya warga menggelar peringatan Isra Miraj Rasulullah SAW di pelataran lorong perumahan itu, dengan panggung seadanya, tempat penceramah yang diundang menyampaikan ceramah.
“Mudah-mudahan tahun depan kita sudah bisa menempati di Masjid yang baru,” kata Ketua Pengurus Surau Jabal Rahmah, Onel.
Pembacaan ayat suci Al-Qur’an menjadi pembuka setiap memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Surau Jabal Rahmah.
Tahun ini pengurus Surau Jabal Rahmah mengundang Ustadz Satrio, tenaga pengajar di STAIN SAR dan Umrah Kepulauan Riau. Namun sayangnya beliau berhalangan dan digantikan Ustadz Muhammad Baqah.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tarmizi, lebih dulu membuka acara Memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1444 Hijriah di Surau Jabal Rahmah.
Tarmizi berpesan kepada jemaah yang hadir saat itu untuk menjadikan peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk terus memperbaiki dan memperkokoh ibadah shalat.
“Isra Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW menerima perintah dari Allah SWT bertemu Allah SWT untuk melaksanakan shalat 5 (lima) waktu, 17 rakaat yang kita kerjakan saat ini. Untuk itu mari kita laksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Tarmizi.
Isra Mi’raj
Isra Mi’raj menjadi hari terbaik dalam sejarah peradaban manusia yang tercatat penting dan selalu diingat bagi seluruh semesta beserta isinya, dikenang hingga saat ini.
Analis Kebijakan Ahli Muda pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI, Ihsan Faisal, dalam tulisannya di laman Kemenag RI menjelaskan tentang Isra Mi’raj.
Ia menjelaskan, Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam.
Kejadian itu merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam. Sebab, pada peristiwa itu Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan salat 5 (lima) waktu sehari semalam.
Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu.
Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW.
John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik).
Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari salat yang dijalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian, salat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya.
Pertama, Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung.
Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Dari ajaran langit tersebut, terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan. Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan — yang menyangkut kepemimpinan – secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ”pencari Tuhan”). Kembalinya Rasulullah SAW ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharrufu al-imam ‘ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Kelima, amanat Rasulullah SAW untuk menegakkan salat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran salat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudhu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan salat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).
Penulis : Aji Anugraha
Sumber Tambahan : Kemenag RI