SALAH satu potensi perekonomian maritim terbesar yang yang dimiliki Indonesia adalah sumber minyak bumi dan gas, Indonesia belum bisa memanfaatkannya secara maksimal. Ironisnya, sebagian besar sumber-sumber energi tidak terbaharukan ini dikuasai pihak asing.
Padahal sangat jelas, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebut “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Alih-alih memakmurkan rakyat, membayar hutang negara pun tidak mampu.
Salah satu contoh sikap pemerintah yang pro terhadap kepentingan asing adalah polemik blok Migas West Madura. Sekadar informasi, mulanya saham West Madura dimiliki Pertamina (50 persen), Kodeco (25 persen), dan CNOOC (25 persen). Sebulan menjelang habisnya masa kontrak, Kodeco mengalihkan sebagian sahamnya ke PT Sinergindo Cahaya Harapan dan CNOOC ke Pure Link Ltd, masing-masing sebesar 12,5 persen. Meski bukan pemegang saham mayoritas, selama ini blok West Madura dikelola Kodeco, perusahaan minyak asal Korea Selatan.
Sikap pemerintah yang berpihak pada kepentingan perusahaan asing terlihat dari beberapa kebijakannya. Pertama, Pertamina sejak Mei 2008 telah lima kali meminta kepada pemerintah agar blok West Madura sepenuhnya dikelola BUMN. Sayang, hingga kini pemerintah belum mengabulkan permintaan tersebut. Di sisi lain proses pengalihan saham dari Kodeco dan CNOOC ke PT Sinergindo Citra Harapan (SCH) dan Pure Link Investment Ltd (PLI) hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Itupun tanpa tender yang transparan.
Kedua, porsi saham Pertamina di West Madura adalah yang paling terbesar. Namun pada kenyataannya yang menjadi pengelola adalah Kodeco dengan kemampuan produksi hanya berada pada level 13-14 ribu bph. Di sisi lain, Pertamina menyatakan sanggup menyedot minyak di ladang itu hingga 30ribu barel per hari.
Ketiga, potensi cadangan blok tersebut menurut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (PSPPB) cukup besar, yakni 22.22 juta barel minyak dan gas sebesar 219,8 BCFG. Jika diasumsikan harga minyak mentah 100 dolar AS per barrel dan gas 4 dolar AS per MMbtu, maka nilai potensi migas blok tersebut dapat mencapai Rp28 triliun.
Jika blok tersebut dapat diproduksi 30 ribu barel migas perhari, cadangan tersebut baru habis selama enam tahun.Setelah dipotong cost recovery 10 dolar AS perbarel, kekayaan yang dapat diraup sekitar Rp4 trillun pertahun. Menyerahkan pengelolaan kepada Kodeco, Pertamina sebagai BUMN tidak mendapat keuntungan sebagai operator.
Inilah ironi negara yang kaya migas namun pengelolaannya justru didominasi pihak asing, Padahal Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibanding perusahaan asing, Kondisi ini terjadi karena terpasung regulasi yang kapitalistis, khususnya UU Migas No 22/2001, Pertamina disejajarkan dengan perusahaan-perusahan swasta termasuk asing. Dalam praktiknya bahkan cenderung dianaktirikan. Walhasil kekayaan negara ini tidak dapat dikuasai dan di- manfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat.
Dari aspek sumber daya alam, Indonesia merupakan negara kaya. Tanah subur kaya mineral, lautan kaya ikan, berbagai barang tambang strategis, minyak dan gas tertimbun di perut bumi Indonesia. Namun jika dicermati satu-persatu intervensi dan penguasaan oleh asing masih begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya alat tersebut.
Berdasarkan data Indonesia Energy Statistic 2009, yang dikeluarkan Kementerian ESDM, total cadangan minyak Indonesia mencapai 7,998 MSTB (Million Standard Tanker Barrel). Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Sementara cadangan gas mencapai 159,63 TSCF (Triliun Standard Cubic Feet) atau terbesar ke-11 dunia.
Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ke-15 dunia. Per 2009 cadangan batubara mencapai 126 miliar ton. Indonesia juga kaya dengan energi panas bumi (geotermal) yang tersebar di berbagai penjuru nusantara, potensinya mencapai 28,1 GW. Barang tambang seperti nikel, emas, perak, timah, tembaga dan biji besi juga jumlahnya sangat melimpah. Bahkan Indonesia diketahui memiliki kualitas nikel terbaik di dunia.
Namun, kekayaan alam tersebut justru lebih banyak dinikmati negara lain ketimbang penduduk Indonesia. Berdasarkan Neraca Energi 2009 dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38 persen diekspor ke luar negeri. Ironisnya pada saat yang sama Indonesia harus mengimpor minyak mentah 129 juta BOE, atau 35 persen dari total produksi dalam negeri. Ini terjadi karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai swasta termasuk asing. Di sisi lain, rakyat terus dibuat sengsara akibat harga minyak dinaikkan agar sesuai dengan standar internasional.
Demikian pula dengan gas alam Indonesia.Produksinya dimonopoli swasta asing, Sebagian besar hasilnya dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta BOE (Barrel of Oil Equivalent) pada 2009, hampir 60 persen diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (12 persen) dan dalam bentuk LNG 48 persen. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (19 persen), PLN (10 persen) dan lain-lain.
Padahal, dengan jumlah tersebut, kebutuhan domestik sangat tidak memadai. Sejumlah industri menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama juga dialami PLN. Akibat kekurangan gas, PLN terpaksa menggunakan minyak yang biaya produksinya jauh lebih mahal. Negeri ini amat kaya, namun perut penduduknya kelaparan. Ibarat anak ayam mati di lumbung padi.
Sebagai negara maritim terbesar di dunia sudah seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan disegani. Namun, kenyataannya dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah, negara ini seakan tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, roda perekonomian Indonesia lumpuh terpenjara oleh kepentingan asing.
Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi, terdiri dari 0,3 juta kilometer persegi perairan teritorial, 2,8 juta kilometer persegi perairan pedalaman dan kepulauan 2,7 juta km persegi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta dikelilingi lebih dari 17.504 pulau, menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi kelautan Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen.
Melihat besarnya potensi laut nusantara, sudah seharusnya Indonesia mempunyai infrastruktur maritim kuat, seperti, pelabuhan yang lengkap dan modern; sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim yang berkualitas; serta kapal berkelas, mulai untuk jasa pengangkutan manusia, barang migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (AL).
Namun, kondisi ideal tersebut sulit tercapai. Hal ini terjadi karena industri maritim Indonesia tidak dikelola dengan benar. Sehingga tak satu pun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim. Negara asing menempatkan bangsa Indonesia sebagai pasar produk mereka Ironisnya, pemerintah hanya berdiam diri tanpa melakukan langkah perbaikan.
Padahal, kedepan industri kelautan Indonesia akan semakin strategis, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asta-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia- Pasilik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilal sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km persegi, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura Selama ini sudah menjadi rahasia umum bila industri dan jasa maritim Indonesia berada di bawah kendali Singapura Lihat saja sebagian kapal yang berlayar menghubungkan antar pulau sebagian besar menggunakan bendera negeri The Red Dot, khususnya kapal yang memuat barang-barang terkait dengan berbagal macam industri.
Sebagai contoh industri perkapalan yang bertebaran di beberapa tempat di Kepri, khususnya di Pulau Batam dan beberapa pulau sekitarnya, termasuk pulau Karimun. Di sana terdapat investasi bidang perkapalan dan mayoritas pelakunya berasal dari negeri yang sangat takut terhadap KKO/Marinir Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidak sulit untuk menjawabnya, yaitu bisa jadi karena ada pembiaran dari pembuat kebijakan di bidang investasi. Bisa pula karena para pembuat kebijakan di negeri ini tidak paham strategisnya dunia maritim bagi Indonesia. Tersiar kabar pula, ada agen-agen dari Singapura di beberapa tempat strategis yang siap memotong bila ada kebijakan maritim yang menguntungkan Indonesia atau sebaliknya merugikan negeri tersebut. Keadaan semakin rumit karena sebagian industri perkapalan di dalam negeri masih harus berurusan dengan Singapura.
Mengenai pembangunan kapal misalnya, seperti propeler, sistem pendorong, radar dan lain sebagainya, pabrikan subsistem tersebut terkadang tidak mau galangan Indonesia berhubungan langsung dengan kantor pusat mereka di Eropa atau Amerika. Tapi, harus melewati perwakilan regional mereka yang berada di negeri pencuri pasir itu. Pertanyaan besar muncul, kapan bangsa Indonesia sadar akan hal ini dan bertindak memutus rantai pengendalian negeri kecil tersebut?
Di sisi lain, banyak faktor yang menghambat pembangunan industri maritim nasional. Pertama, sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen kolateral (senilai pinjaman).
Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga dua persen+LIBOR dua persen (total sekitar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Sebagai contoh bagi pengusaha kapal, kapal yang dibelinya bisa menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem perbankan Indonesia.
Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu sektor dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada impor atau pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan.
Artinya, kebijakan tersebut “banci”. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen) Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terhutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.
Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20 juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.
Pemerintahan di negara maju telah berpikir meski penerimaan pajak menurun, tetapi penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan semakin banyak, sehingga pendapatan negara akan meningkat. Ini adalah pola pikir dan langkah pemerintahan yang dikelola oleh negarawan cerdas.
Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia sepertiga gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggungjawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17/2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.
Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi PT BKI, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia. Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.
Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi, PT BKI kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga PT BKI masih menganut pemahaman dengan uang pelicin semuanya beres. Sebab itu, sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17/2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI sebuah ‘pepesan kosong’ yang diragukan industri maritinm global.
Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenisnya, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi para pelobi yang mewakili pihak-pihak pencari keuntungan, tanpa memikirkan nasib bangsa. Langkah pertama, melakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau menjadi pecundang terus.
Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas agar Indonesia mempunyai sumber daya manusia maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak industri maritim Indonesia hanya tinggal nama.*