PERADABAN suku laut kampung Panglong Desa Berakit, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan menjawab pertanyaan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) benar-benar utuh dalam perbedaan kepercayaan dan keyakinan keapada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari beragam literatur, kedatangan orang suku laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500 sampai dengan 1500 Sebelum Masehi (SM), sebagai bangsa proto Melayu, atau disebut Melayu tua, dan kemudian menyebar ke Sumatera melalui semenanjung Malaka.
Pada tahun 1988, Departemen Sosial RI mencatat, pasca 1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai, tepatnya daerah daratan pesisir. Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut.
Menurut catatan penelusuran suku laut kampung Panglong, berada di Desa Berakit, yang merupakan satu dari 51 desa di 10 Kecamatan di Bintan. Letaknya berada di ujung Kecamatan terujung Teluk Sebong. Letaknya yang strategis, karena berada di pesisir selat terusan kelaut lepas perairan Bintan, yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia.
Minggu, 14 Januari 2018, pijarkepri.com mengunjungi daerah kawasan cagar budaya peninggalan suku luat yang dibangun sekitar 1950, Dapur Arang namanya. Tempat ini kabarnya merupakan daerah para masyarakat suku laut berdiam, membuat arang sebagai pekerjaan tambahan mata pencaharian mereka setiap hari.
Tin Tin (26) adalah anak kepala suku laut Kampung Panglong yang menjelaskan sejarah dapur arang berada, sehingga terungkaplah sebuah peradaban di Desa Berakit, tempat mobilitas penduduk suku laut pertama berada di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Tin Tin merupakan nama panggilan kecil untuk anak laki-laki suku laut, yang ditimang oleh kepala suku semasa kecil. Tin Tin juga bermakna pengganti generasi, pemimpin sekaligus generasi penerus suku laut di kampung Panglong. Ia merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara.
Ayahnya bernama Bone Pasius Buncit merupakan kepala suku laut kampung Panglong, Desa Berakit yang baru saja wafat beberapa waktu lalu. Suasana duka juga terasa dirumahnya, sebab Ibu Tin Tin baru saja meninggal dunia, Veronika Saknah wafaat diusia 59 tahun.
Meskipun dalam suasana duka tak menyurutkan kesabaran Tin Tin untuk menjelaskan sejarah Dapur Arang dan jejak rekam peradaban suku laut desa panglong kepada masyarakat dan siapapun yang datang ke Desa itu.
Ia mengatakan dahulu kala, menurut cerita nenek moyangnya, suku laut Panglong bermigrasi dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari kehidupan dan kedamaian.
Suku laut Panglong terdiri dari 75 Kepala Keluarga (KK), dalam satu KK terdiri atas 3 sampai dengan 5 orang. “Totalnya mau 500 jiwa, kalau dulu masih hidup almarhum (Kepala Suku Laut), hanya 40 KK, dahulu waktu bapak masih hidup 3 keluarga dengan kajang berlayar kesini,” ujarnya.
Penduduk suku laut kampung Panglong, Desa Berakit, Bintan, saat ini menganut kepercayaan Nasrani dan Islam. Mereka akur dan tak saling bertengkar, itu terlihat dari kedua bangunan tempat peribadatan kedua agama yang berada dekat di desa itu.
Menurut Tin Tin, berdasarkan kisah ayanhnya, penduduk Panglong awalnya tidak mengenal adanya agama, mereka lebih berkepercayaan kepada Animisme, menyembah pohon dan batu, serta percaya kepada arwah roh nenek moyang mereka.
“Kepercayaan agama peratama kali, mereka tidak mengenal sama sekali, jadi ketika almarhum ayah keseberang, mereka bertemu pendeta, dengan adanya pendeta itu, bahwa agama itu sperti ini, bahkan dengan adanya agama itu menjelaskan akan ada generasi generasi yang sudah mempunya agama, dan akhirnya mereka berkeyakinan kapada Tuhan,” ujarnya.
Lebih kurang 65 kepala keluarga menganut agama Nasrani, sedangkan 10 keluarga menganut agama Islam. Walau pun berbeda agama kehidupan suku laut selalu harmonis.
“Disini kami saling berkolaborasi dengan baik, seperti gotong royong, jadi kami disini saling membaur tidak ada permusuhan, tidak ada saling menghina, semuanya akur, meskipun berbeda keyakinan,” ujarnya.
Tin Tin merupakan satu dari sekian banyak anak suku laut yang berhasil menempuh pendidikan hingga keperguruan tinggi, keingintahuannya untuk menginjakkan bangku pendidikan Sekolah Dasar, hingga Sekolah Menengah Atas saat ayahnya, mengantarkan Tin Tin untuk menjadi manusia yang terdidik.
“Saya sudah pernah melangkah untuk kuliah, di Center Conturidem Educcation, di pariwasata, lagoi, sekolah di Singapura, saya juga disini tour gaet juga untuk para turis luar negeri, saya bergabung di yayasan peduli kepulauan riau, atau Island Foundation, dan guru bahasa Inggris untuk anak-anak disini, untuk terus melanjutkkan pendidikan,” ujarnya.
Keinginan Tin Tin untuk memberikan ilmu yang didapatkannya seama menjalani pendidikan di luar negeri tak tersimpan hanya olehnya, hampir disetiap pulang sekolah anak anak suku laut mendapatkan pembekalan berbahasa Inggiris.
“Saya mengajar kalau Rabu dan Kamis di Panglong, Jumat dan Sabtu saya di Teluk Dalam, minggunya di Malang Rapat, dan begitu setiap bulan,” ujarnya.
Awalnya kata dia, sangat sulit untuk mengajak anak suku laut bersekolah, terlebih mengenalkan mereka pentingnya pendidikan, hal itu dikarenakan suku laut lebih suka mencari ikan untuk kehidupan sehari-harinya.
Namun, dengan segala upaya, lanjutnya, para orang tua suku laut merasa pendidikan sangat dibutuhkan, setelah mendengar nasehat dan kegunaan ilmu yang diberikan Tin Tin untuk mereka.
“Dengan apa yang saya dapatkan dengan membawa mereka ke prahu, saya ceritakan bagaimana saya bergaul, ternyata masih banyak orang-orang baik diluar sana, mereka merasa minder awalnya, tapi sekarang mereka sudah berani, dan tidak malu lagi,” ujarnya.
Salah satu peninggalan sejarah suku laut yang tersisa adalah Dapur Arang.
Tumpukan batu bata merah menyerupai rumah itu sudah terlihat sejak pertama kali masuk ke kampung Panglong, Desa Berakit.
Terdapat tiga gundukan batu bata dengan satu pintu sebatas ruang untuk berlalu satu orang dilindungi daan beratap rapi, bangunan ini merupakan cagar budaya pemerintah setempat.
Tin Tin menceritakan mengenai sejarah Dapur Arang. Menurut cerita nenek moyangnya yang diturunkan dari generasi ke generasi ayahnya, hingga ke dia, Dapur Arang dibangun pertama kali pada 1950.
Dapur arang memproduksi puluhan ton arang setiap harinya, arang tersebut merupakan olahan dari pohon bakau yang kemudian dibakar untuk kebutuhan pemesanan.
Ia mengutarakan, saat Dapur Arang berproduksi, pada dasarnya dahulu kala sangat membantu perekonomian penduduk suku laut. Para janda dan penduduk setempat dari berbagai kategori mendapatkan keuntungan dari produksi dapur arang.
“Rata rata penghasilan dapur arang 15 sampai 30 ribu perbulannya, itu untuk membeli beras, terkadang mereka meminjam uang dari para penampung arang, untuk melanjutkan hidup,” ujaranya.
Kemudian pada tahun 2013 pemerintah tidak membenarkan Dapur Arang untuk berproduksi lagi, dikarenakan dapat merusak ekosistem bakau.
“Karena besar dampaknya, terutama karena kayu bakau tidak boleh di tebang lagi, dan bakau adalah untuk menekan daya abrasi bila mana terjadi sunami,” ujarnya
Seiiring berkembangnya waktu dikarenakan tidak beroperasi lagi, Pemerintah setempat kemudian menjadikan Dapur Arang sebagai tempat wisata tentang suku laut di panglong.
Perjalanan panjang kisah suku laut dapat dipaprkan lebih rinci oleh Tintin, meskipun dalam keadaan tertentu suku laut kampung Panglong menjadi harapan peninggalan peradaban suku pertama di Kepulauan Riau, yang harus dijaga.
Penulis : Aji Anugraha