Oleh: Aji Anugraha
Di balik wangi ayam goreng panas yang keluar dari dapur sebuah restoran cepat saji di Tanjungpinang, tersembunyi kisah perjuangan seorang pemuda sederhana bernama Khairul Anam.
Ia bukan siapa-siapa. Lulusan sekolah menengah biasa yang membawa harapan besar dari keluarganya, berharap pekerjaan di Mr Blitz bisa menjadi pintu awal mengangkat derajat hidup mereka.
Tapi siapa sangka, justru ijazah yang menjadi bukti perjuangan pendidikannya hilang tanpa jejak, seolah tak pernah dianggap berarti.
Anam pertama kali melangkah ke gerbang Mr Blitz Basuki Rahmat dengan penuh semangat. Surat lamarannya ia tujukan kepada manajemen, lalu menjalani wawancara dengan seseorang bernama Yeza. Tanpa banyak berbelit, ia diterima bekerja. Mulai dari bawah, tak ada keluhan. Ia tahu, awal selalu sederhana.
Satu bulan bekerja, sebuah permintaan datang: menyerahkan ijazah asli untuk keperluan administrasi. Tapi sang kakak, Ulum, bersikeras agar Anam tak menyerahkan dokumen berharganya itu. “Kalau ijazah harus ditahan, lebih baik cari kerja lain,” katanya.
Namun tekanan terus datang. Setelah dipindahkan ke cabang Mr Blitz Batu 10, Yeza kembali menanyakan ijazah tersebut. Bahkan ayah Yeza, pemilik usaha, menegaskan pentingnya dokumen itu.
Anam akhirnya menyerah. Ia membuka lokernya, mengambil ijazah asli bersampul lengkap, dan menyerahkannya kepada Arsi—tanpa berita acara, tanpa tanda terima, tanpa salinan cadangan.
“Saya lihat mereka buka sampulnya, memeriksa, setelah itu saya tidak tahu di mana lagi ijazah itu berada,” cerita Anam pelan, suaranya seperti menahan kecewa yang lama dipendam.
Baca Juga : Ijazah Anam Hilang, Mr Blitz Dipolisikan
Hari-hari Anam berlalu dalam peluh. Ia digaji seadanya, mulai dari Rp2,2 juta hingga pernah naik ke Rp4,7 juta. Tapi tak pernah ada slip, tak pernah jelas hitungannya. Ia hanya bekerja menggoreng ayam, angkut barang, jadi satpam pengganti, bahkan membersihkan rumah pribadi pemilik usaha.
“Yang penting saya kerja, ada gaji. Itu saja,” katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Sampai malam 25 Februari itu. Pukul 1 dinihari, Anam dan kekasihnya, Yolla yang juga rekan kerja dipanggil Yeza. Tanpa peringatan, Anam diberhentikan. Semua atribut dikembalikan, tapi ijazahnya? Entah ke mana.
Upaya demi upaya dilakukan. Sang kakak, Ulum, dan pamannya, Moel Akhyar, berulang kali menghubungi pihak manajemen. Jawabannya selalu sama: “Menyusul.” Tapi waktu terus berjalan, dan kejelasan tak kunjung datang.
Pada 7 Maret, Moel akhirnya menemui langsung Yeza di Blitz KM 10. Pertemuan itu berjalan dengan sopan. Yeza mengaku Anam adalah karyawan yang baik dan rajin. Namun ketika ditanya soal ijazah, ia hanya minta dua hari lagi. Tidak ada pernyataan tegas bahwa ijazah telah hilang. Tak ada pengakuan, hanya janji.
Kabar yang beredar di internal Blitz justru mencengangkan. Ijazah Anam diduga hilang saat insiden pencurian, meski tidak ada laporan resmi, dan ijazah lain dikatakan masih aman. Bahkan, Moel mendengar ada upaya mencetak ulang ijazah Anam, menggunakan jasa IT dan desain grafis.
“Kalau memang hilang, akui saja. Tanggung jawab saja. Tapi mereka malah mengelak,” ungkap Moel, nada suaranya berubah tegas.
Pertemuan berikutnya lebih mengusik. Saat mendatangi kantor untuk kedua kali, Moel hanya disambut admin bernama Ayu, yang jawabannya semakin berputar-putar. Tiba-tiba, seorang pria berpakaian polisi duduk di meja mereka. Membuka jaket, memperlihatkan seragam lengkap, lalu ikut campur dengan nada mengintimidasi.
“Dia bilang semua orang di Tanjungpinang kenal dia. Terus bentak saya, bilang saya tak berhak bicara karena saya cuma pamannya Anam,” kisah Moel. “Saya datang baik-baik, tapi diperlakukan seperti ini.”
Patah hati itu tak datang dari kehilangan pekerjaan. Anam sudah ikhlas. Tapi kehilangan ijazah, simbol dari masa depan dan kerja kerasnya, adalah luka yang belum tertutup. Bagi keluarganya, bukan hanya ijazah yang hilang. Tapi kepercayaan, martabat, dan penghargaan atas seorang anak muda yang telah memberikan segalanya.
Kini keluarga Anam mempertimbangkan langkah hukum dengan melaporkan permasalahan itu ke Polresta Tanjungpinang. Bukan semata soal dokumen, tapi untuk menuntut keadilan dan mengingatkan, jangan anggap remeh barang berharga orang kecil, karena itulah satu-satunya yang mereka punya untuk berdiri sejajar.***