PIJARKEPRI.COM – Di balik lalu lalang penumpang di Pelabuhan Internasional Sri Bintan Pura (SBP) Tanjungpinang, tersimpan kisah panjang soal aliran dana bagi hasil pas pelabuhan yang hingga kini menyisakan tanda tanya besar.
Sejak penyesuaian tarif pada 2018, hingga dinamika kepemimpinan di Pemkot Tanjungpinang berganti, transparansi atas dana yang seharusnya menjadi hak publik itu nyaris gelap gulita.
Tarif Naik, Janji Pelayanan dan PAD Menggoda Pemkot
Kenaikan tarif pas Pelabuhan SBP pertama kali terjadi pada penghujung masa jabatan Wali Kota Lis Darmansyah dan Syahrul.
Tarif pas domestik melompat dari Rp5.000 menjadi Rp10.000, sementara pas internasional melonjak dari Rp40.000 menjadi Rp60.000.
Desakan dari berbagai pihak—tokoh masyarakat, ormas, OKP, hingga mahasiswa—agar pemerintah daerah mendapat bagian dari kenaikan tarif itu, akhirnya mendorong Pelindo menyetujui skema kerja sama bagi hasil dengan Pemkot melalui BUMD PT Tanjungpinang Makmur Bersama (TMB).
Berdasarkan kesepakatan awal, PT TMB menerima 20 persen dari pas domestik dan 28 persen dari pas internasional.
Selain itu, pengelolaan parkir juga diserahkan kepada BUMD tersebut. Kala itu, skema ini dianggap sebagai jalan keluar untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tengah kritis.
Namun, di balik kesepakatan yang terlihat “mutualisme” itu, terdapat dinamika tarik ulur kepentingan yang tidak sepenuhnya transparan di hadapan publik.
Berganti Wali Kota, Berubah Pula Persentase Bagi Hasil
Di masa kepemimpinan Wali Kota Syahrul, persentase bagi hasil tetap stabil, sama seperti di masa kepemimpinan Lis Darmansyah.
Namun, setelah jabatan Pj Wali Kota Hasan, PT TMB hanya menerima 10 persen dari pas pelabuhan, sementara pengelolaan parkir diambil alih pihak ketiga tanpa penjelasan detail kepada masyarakat.
Di bawah Pj Wali Kota Andri Rizal, persentase itu dikembalikan menjadi 20 persen, namun aliran dana yang masuk ke BUMD tetap tidak jelas juntrungannya.
Tidak ada laporan resmi atau keterbukaan yang memadai terkait berapa besar uang rakyat itu benar-benar masuk kas daerah, dan berapa yang mengalir entah ke mana.
Tarif Tinggi, Publik Bertanya: Uang ke Mana?
Kini, pada awal 2025, Pelindo menyebut bahwa PT TMB menerima bagian hingga 48 persen—20 persen dari pas domestik dan 28 persen dari pas internasional.
Namun, nominal yang diungkap baru-baru ini oleh Branch Manager Pelindo di Pelabuhan SBP, Toni, justru mengundang pertanyaan
“Rata-rata BUMD menerima Rp120 juta per bulan dari pas pelabuhan,” katanya.
Jika dihitung kasar, angka Rp120 juta per bulan itu tampak tak sebanding dengan volume penumpang yang keluar-masuk di pelabuhan internasional dan domestik terbesar di Tanjungpinang itu.
Siapa yang memastikan validitas angka tersebut? Dan lebih penting lagi, ke mana sebenarnya dana ini diarahkan setelah masuk ke PT TMB?
DPRD: Transparansi Dipertanyakan, Rakyat Dirugikan?
Isu keterbukaan informasi mencuat sejak DPRD Tanjungpinang mengendus potensi ketertutupan BUMD dalam melaporkan pendapatan dari pas pelabuhan.
Ketua DPRD Tanjungpinang kala itu, Yuniarni Pustoko Weni bahkan pernah secara tegas menolak pembahasan tarif pas yang dilakukan secara tertutup di luar daerah.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada 2023, Pelindo membeberkan rincian pembagian bagi hasil kepada PT TMB. Anehnya, BUMD yang diberi mandat mengelola dana tersebut memilih bungkam. Tidak ada satu pun data yang diserahkan kepada wakil rakyat atau dipublikasikan secara resmi.
Frenki Fasinto, anggota Komisi II DPRD Tanjungpinang kala itu, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mendesak PT TMB membuka laporan keuangan terkait aliran dana pas pelabuhan, namun permintaan itu hingga kini masih diabaikan.
Investasi atau Ilusi?
Di balik janji kontribusi PAD, keberadaan dana ratusan juta rupiah yang mengalir setiap bulan seharusnya menjadi stimulus bagi pembangunan daerah. Namun, masyarakat Tanjungpinang tak kunjung merasakan manfaat nyata. Fasilitas di Pelabuhan SBP dinilai masih minim, sementara pelayanan publik kerap dikeluhkan.
Mantan Wali Kota yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Tanjungpinang periode 2025-2030, Lis Darmansyah pernah mengingatkan Pelindo untuk membenahi fasilitas sebelum menaikkan tarif.
Namun, bertahun-tahun setelah itu, banyak yang mempertanyakan: apakah peningkatan tarif benar-benar sebanding dengan pelayanan dan fasilitas yang diterima?
Di Mana Fungsi Pengawasan?
Polemik pas pelabuhan SBP ini menyingkap betapa lemahnya fungsi pengawasan terhadap BUMD yang mengelola dana publik. Minimnya laporan pertanggungjawaban dan ketertutupan informasi membuka ruang spekulasi soal kemungkinan penyimpangan dana.
Jika PT TMB benar menerima Rp120 juta per bulan, lalu bagaimana rincian penggunaannya? Mengapa tidak ada audit terbuka? Dan siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya hak publik untuk tahu?
Membuka Tabir BUMD, Menagih Transparansi
Bagi hasil pas pelabuhan SBP yang semula dianggap solusi menyelamatkan PAD Tanjungpinang, kini menjadi pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.
Saat publik menuntut kejelasan, BUMD PT TMB masih memilih diam. DPRD Tanjungpinang didesak lebih aktif menjalankan fungsi pengawasan. Dan Pelindo, sebagai mitra strategis, semestinya juga bertanggung jawab memastikan dana bagi hasil itu benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan mengendap dalam saku segelintir orang.
Jika Pemkot Tanjungpinang serius membangun kepercayaan publik, maka keterbukaan BUMD dalam pengelolaan pas pelabuhan SBP adalah titik awal yang harus diperbaiki.
Publik berhak tahu ke mana uang mereka mengalir. Dan hanya dengan transparansi yang jujur dan akuntabilitas yang kuat, kepercayaan itu bisa kembali
Pewarta : Aji Anugraha