Golput Sebagai Apatisme, atau Gerakan Moral ?

Penulis : Abdurrahman Harits Blok Politik Pelajar
Penulis : Abdurrahman Harits Blok Politik Pelajar

OPINI – Mencermati berbagai bentuk manuver dan agitasi politik beberapa waktu kebelakang, tentunya tidak terlepas dari perbincangan tentang keberlanjutan kepemimpinan dalam batang tubuh pemerintahan. Selain kemungkinan untuk memilih salah satu kandidat presiden yang akan hadir, terdapat pula hak untuk tidak memilih, atau dalam istilah lain berupa Golongan Putih (Golput). Golongan Putih yang lahir sebagai bentuk protes kelompok masyarakat dan mahasiswa atas penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru di tahun 1971. Protes yang berdasarkan penilaian kelompok masyarakat dan mahasiswa bahwasannya di masa itu tidak ada satu pun tokoh politik yang dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka.

Berkaca pada politik Indonesia hari ini, masyarakat disajikan dengan sorotan yang begitu masif terhadap kandidat calon presiden di agenda pemilihan umum selanjutnya. Dengan jangka waktu 2 tahun sebelum waktu pemilihan umum, masing-masing partai politik telah menabuh instrumen politiknya yang berupa spanduk, akun sosial media hingga deklarasi relawan di berbagai daerah. Propaganda yang memuat beberapa kandidat calon presiden seperti Airlangga Hartanto, Puan Maharani, Cak Imin, Ganjar Pranowo hingga Anies Baswedan. Selain itu, publik juga dihadirkan sorotan berlebihan pada beberapa ketua umum partai politik yang saling melempar pernyataan di hadapan publik sebagaimana saling sindir antara Politisi Partai Demokrat dengan politisi-politisi PDIP Perjuangan terkait proyek “Gunting Pita” yang selama ini dijalankan oleh Presiden. Selain itu, publik juga disajikan dengan sandingan “Bapak Politik Identitas” pada sosok Anies Baswedan dimana sebagian pihak menilai bahwa manuver politiknya sangat lekat dan seolah merawat politik identitas sehingga dapat menyebabkan pembelahan di ruang publik.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, publik dihadapkan dengan krisis biaya hidup dimana catatan dari World Bank di tahun 2020 yang menyatakan bahwa 45 persen masyarakat Indonesia berada pada kondisi rentan miskin. Hal ini kemudian dikoreksi oleh Bambang Brodjonegoro yang menjelaskan pada Kompas (25/10/2021) bahwasannya terdapat 67 persen penduduk Indonesia yang berada pada kondisi rentan miskin. Selain itu, masyarakat juga dihadapkan dengan kenaikan harga BBM yang dikhawatirkan akan mendorong tingkat inflasi. Maka dari itu, publik layak kecewa dengan aktor-aktor politik yang terus melemparkan dagelannya alih-alih fokus pada pemecahan masalah krisis biaya hidup yang hadir di depan mata.

Pilihan politik masyarakat pada koalisi pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden setidaknya dibatasi oleh threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang ditentukan dengan jumlah suara sah sebesar 20% dari jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan terbentuk koalisi-koalisi partai politik dengan gemuk dengan terbatasnya opsi kandidat presiden dan wakil presiden sehingga meniadakan kesempatan bagi kandidat yang diusung oleh gerakan politik alternatif ataupun partai-partai yang memiliki suara yang kecil, namun memiliki kandidat alternatif.

Penulis : Abdurrahman Harits Blok Politik Pelajar
Penulis : Abdurrahman Harits Blok Politik Pelajar

Praktik populisme yang memperebutkan suara dalam pemilu pada akhirnya menghadirkan keretakan dalam batang tubuh masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan publik pada netralitas birokrasi pun menjadi minim. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Siti Zuhro pada jurnal Demokrasi dan Pemilu Presiden 2019 menjelaskan bahwa proses deepening democrarcy atau kensolidasi antara masyarakat sipil, aktor politik, media massa hingga penyelenggara pemilihan umum mesti diperbaiki. Maka dari itu, kemuakan publik pada pemegang tampuk kekuasaan pun semakin tidak terhindarkan. Bagaimanapun, ketidakpercayaan pada pemegang tampuk kekuasaan harus disuarakan.

Ketiadaan sarana “Tidak Memilih” dalam agenda pemilihan umum kita menempatkan masyarakat pada kondisi tidak adanya pilihan. Dalam teknis perhitungan suara, golongan putih tercampur dengan suara tidak sah ataupun suara yang tidak dipergunakan haknya, Padahal, dua hal tersebut memiliki nilai yang berbeda. Oleh karena itu, parameter ketidakpercayaan publik terhadap aktor politik menjadi bias. Ketidakpercayaan publik tidak dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum secara gamblang. Pun ketika wacana golput menguat di ruang publik pun, hanya dihitung oleh lembaga-lembaga survey yang memiliki keterbatasan dalam sampel risetnya.

Ketika negara telah membatasi pilihan masyarakat dengan threshold, maka alangkah baiknya jika opsi “tidak memilih” juga dihadirkan dalam surat suara. Pemilihan Umum bagi masyarakat sejatinya bukanlah pesta peralihan kekuasaan, namun momentum konsolidasi gagasan dan perbaikan ekosistem demokrasi. Oleh sebab itu, protes dari kelompok golput pun menjadi variabel penting yang harus dihitung sebagai representasi ketidakpercayaan publik pada aktor-aktor politik karena sejatinya secara substantif golongan putih adalah gerakan kritis yang menyuarakan kekecewaan masyarakat.

Apatisme berupa sikap tidak adanya simpati dan antusiasme terhadap sesuatu. Dari sudut pandang politik juga dapat diartikan sebagai ketidakpedulian terhadap kondisi sosial-politik. Apatisme terkadang disandingkan dengan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain, stempel apatis juga dapat dipergunakan pada aktor-aktor politik yang tidak peduli pada masyarakatnya, seperti yang belakangan ini dipertontonkan oleh DPR yang mengadakan perayaan ulang tahun di saat demonstran di luar gedung sedang melaksanakan protesnya pada kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dengan seksama bahwasannya masyarakat Indonesia akan menghadapi pemilu dengan kerentanan kemiskinan yang tinggi serta tingginya biaya hidup. Jangan sampai, politik uang berbaju malaikat kembali menjadi panglima.

Ditulis Oleh : Abdurrahman Harits
Blok Politik Pelajar

Pos terkait