Tidur: Suatu Masalah Kesehatan yang Sering Diabaikan

Tidur: Suatu Masalah Kesehatan yang Sering Diabaikan
Tidur: Suatu Masalah Kesehatan yang Sering Diabaikan

ARTIKEL – Tidur adalah sebuah kondisi alami ketika kesadaran manusia berada pada tingkat relatif tidak aktif, namun tetap dapat dipengaruhi oleh rangsangan sensoris tertentu. Dalam fase ini tubuh tidak sekadar beristirahat, melainkan memasuki rangkaian siklus kompleks yang memengaruhi fisiologi, tingkat kesadaran, serta respons terhadap rangsangan dari luar (Hidayat, 2009). Tidur yang berkualitas tidak hanya menjadi penopang kesehatan fisik, tetapi juga keseimbangan mental, karena berhubungan erat dengan fungsi otak, metabolisme, sistem kekebalan tubuh, hormon, hingga kesehatan kardiovaskular. Tidur yang sehat ditandai dengan durasi yang cukup, keteraturan waktu, serta terbebas dari gangguan yang mengintervensi ritme biologis (Paruthi et al., 2016).

Peranan tidur dalam mempertahankan integritas tubuh sungguh krusial. Ia menjaga metabolisme, memperkuat sistem imun, dan memastikan organ vital bekerja dengan stabil. Survei Kurious–Katadata Insight Center (KIC) tahun 2023 mencatat bahwa hampir separuh responden di Indonesia, tepatnya 46,2 persen, hanya tidur antara empat hingga enam jam setiap malam. Fakta ini memperlihatkan betapa seriusnya masalah kurang tidur di tengah masyarakat, padahal pemenuhan tidur yang cukup mampu melindungi tubuh dari penyakit, meningkatkan daya tahan, serta mengoptimalkan kemampuan berpikir dan konsentrasi.

Bacaan Lainnya

Bagi orang dewasa, kebutuhan tidur umumnya berkisar tujuh hingga delapan jam per malam. Dalam masa dewasa, terjadi penurunan fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) stadium IV, yang merupakan fase penting dalam pemulihan tubuh (Alfi dan Yuliwar, 2018). Fase ini biasanya mencakup 75 hingga 80 persen dari keseluruhan waktu tidur orang dewasa normal. Bukti penelitian menunjukkan bahwa durasi tidur yang terlalu singkat, kurang dari tujuh jam, berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner, stroke, hingga kematian akibat gangguan kardiovaskular. Namun tidur yang berlebihan, lebih dari sembilan jam, juga berhubungan dengan meningkatnya risiko serupa. Hal ini menegaskan bahwa tidur dengan durasi tepat merupakan kebutuhan vital yang memberi perlindungan menyeluruh bagi kesehatan tubuh sekaligus menjaga fungsi kognitif.

Lebih jauh, kualitas tidur terbukti sebagai indikator yang bahkan lebih menentukan daripada sekadar durasi. Ia berpengaruh langsung pada risiko hipertensi, diabetes, dan gangguan kesehatan mental. Tidur dianggap berkualitas apabila seseorang tidak menunjukkan gejala kekurangan tidur dan terbebas dari gangguan tidur kronis. Sebaliknya, tidur yang buruk sering kali menyebabkan tekanan darah abnormal, menurunkan energi, serta mengganggu aktivitas sehari-hari (Sulistiyani, 2012). Bahkan, penelitian mengungkapkan bahwa kualitas tidur yang rendah dapat menurunkan produksi sel darah merah serta melemahkan sistem imun, sehingga meningkatkan risiko anemia (Sari, 2020). Anemia sendiri adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin berada di bawah batas normal, yang menyebabkan kelelahan, kelemahan, dan beragam masalah kesehatan lainnya. Dengan demikian, kualitas tidur yang baik merupakan bagian integral dari upaya pencegahan anemia.

Dampak buruk kualitas tidur juga menjalar pada kesehatan mental. Pola tidur yang terganggu sering memicu depresi dan kecemasan, yang kemudian berimplikasi pada pola makan serta gaya hidup sehari-hari. Orang dengan gangguan tidur cenderung mengabaikan asupan gizi seimbang, yang justru berpotensi memperparah defisiensi nutrisi penting bagi pembentukan sel darah merah. Karena itu, menjaga kesehatan mental bersamaan dengan kualitas tidur adalah langkah strategis dalam mencegah terjadinya anemia (Wulandari, 2023).

Gangguan tidur tidak muncul dalam ruang hampa. Ia dapat dipengaruhi oleh pola hidup, faktor lingkungan, tekanan psikososial, hingga kondisi medis yang mendasarinya. Aktivasi berlebihan pada sistem saraf simpatis, misalnya, meningkatkan produksi hormon stres seperti epinefrin, kortisol, dan norepinefrin, yang pada akhirnya mengganggu ritme tidur (Ajeng et al., 2021). Stres kronis menjadi salah satu pemicu utama insomnia. Berbagai studi mengonfirmasi bahwa individu dengan insomnia lebih rentan terhadap masalah psikiatris dibandingkan mereka yang memiliki pola tidur normal, serta lebih bergantung pada layanan kesehatan untuk mengatasi keluhan yang mereka alami.

Sleep apnea, gangguan tidur serius yang ditandai dengan berhentinya pernapasan atau menurunnya aliran udara secara signifikan selama tidur, adalah salah satu bentuk gangguan tidur yang paling membebani kesehatan. Penderitanya kerap mengalami peningkatan tekanan darah saat tidur serta rasa kantuk ekstrem pada siang hari. Namun, masalah tidur sering kali dipandang remeh oleh masyarakat karena biasanya muncul bersamaan dengan kondisi medis lainnya. Akibatnya, banyak orang menganggap gangguan tidur sekadar gejala tambahan, bukan sebuah masalah utama yang harus ditangani.

Sesungguhnya tidur bukanlah jeda singkat dari rutinitas, melainkan fondasi utama bagi kesehatan menyeluruh. Kekurangan maupun kelebihan tidur sama-sama berisiko menimbulkan penyakit serius. Lebih jauh, tidur yang buruk berpotensi mengacaukan kesehatan mental, memperlemah sistem pertahanan tubuh, dan menurunkan produktivitas. Selama tidur berlangsung, tubuh memperbaiki sel-sel yang rusak, memperkuat sistem imun, dan memperbarui energi fisik serta mental. Otak, pada saat bersamaan, memproses informasi, mengatur emosi, dan membersihkan toksin, sehingga tidur yang cukup memainkan peran fundamental bagi kestabilan suasana hati dan keseimbangan mental. Oleh karena itu, tidur seharusnya tidak dianggap sekadar pilihan, melainkan kebutuhan pokok yang wajib diprioritaskan dalam gaya hidup untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan yang optimal.

 

Wacana ini ditulis oleh Aisyah Umaira, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Corresponding Author, Aisyah Umaira (email: aisyahmaira81@gmail.com)

Pos terkait