Menguji Kesigapan Wakil Rakyat di Tengah Bencana Sumatera

Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. (Foto: Antara di Google)
Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. (Foto: Antara di Google)

BENCANA alam yang kembali mengguncang Sumatera, yakni banjir besar, tanah longsor, hingga ratusan ribu warga yang terpaksa mengungsi, menjadi ujian berat bagi negara.

Di tengah derasnya air dan runtuhnya bukit-bukit yang menimbun permukiman, masyarakat bukan hanya kehilangan rumah dan anggota keluarga, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem mitigasi bencana yang seharusnya mampu melindungi mereka.

Bacaan Lainnya

Dalam situasi seperti ini, sorotan tak hanya tertuju pada pemerintah eksekutif, tetapi juga pada para wakil rakyat di Senayan yang memikul mandat konstitusional untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Peran Anggota DPR RI bukanlah seremonial. UUD 1945 dengan tegas menempatkan mereka sebagai pemegang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, sekaligus sebagai jembatan kepentingan masyarakat daerah pemilihan.

Bencana Sumatera hari ini menguji apakah fungsi-fungsi tersebut benar-benar dijalankan secara serius atau hanya berhenti sebagai jargon di lembar undang-undang.

Pada aspek legislasi, DPR semestinya memimpin evaluasi total terhadap regulasi tata ruang, lingkungan hidup, serta pola pembangunan yang berulang kali terbukti memperbesar risiko bencana.

Bukan rahasia lagi bahwa kerusakan hutan, pembangunan yang tak mengindahkan kontur kawasan rawan, dan lemahnya penegakan aturan menjadi akar persoalan yang memperparah dampak bencana.

Jika undang-undang yang ada tidak cukup memberikan perlindungan, DPR berkewajiban memperbaikinya.

Diam berarti membiarkan bencana berikutnya kembali mengorbankan rakyat.
Pada sisi anggaran, bencana Sumatera memerlukan respons yang cepat, besar, dan terarah.

DPR bukan hanya menyetujui angka-angka dalam APBN, tetapi memastikan bahwa dana penanggulangan bencana, rehabilitasi, hingga pemulihan ekonomi benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah terdampak.

Ketika ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian dan infrastruktur hancur, kehadiran anggaran negara menjadi urusan hidup dan mati.

Keterlambatan atau pengalokasian yang tidak tepat sasaran adalah bentuk kelalaian yang tak boleh terjadi.

Melalui fungsi pengawasan, DPR harus memastikan pemerintah menjalankan tugas penanggulangan secara transparan dan efektif.

Bantuan yang tersendat, data korban yang tumpang tindih, hingga minimnya kesiapan mitigasi bukan sekadar kelemahan teknis, itu adalah kegagalan sistem yang harus dikritisi secara terbuka.

Pengawasan bukan ditujukan untuk mencari panggung politik, melainkan memastikan setiap rupiah anggaran bencana digunakan tepat sasaran dan setiap kebijakan benar-benar melindungi rakyat.

Dan di atas semuanya, para anggota dewan adalah wakil daerah. Mereka dipilih bukan untuk duduk nyaman di pusat kekuasaan, melainkan membawa suara rakyat dari daerah yang kini sedang terendam lumpur dan duka.

Warga di daerah terdampak berhak melihat wakil mereka hadir, mendengar, dan memperjuangkan kebutuhan darurat mereka di tingkat nasional.

Sebaliknya, absen dari tanggung jawab moral ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstituen.

Bencana Sumatera adalah tragedi, tetapi sekaligus cermin yang memantulkan wajah sejati tata kelola negara. Apakah wakil rakyat akan bergerak cepat, berani, dan berpihak? Ataukah mereka kembali larut dalam siklus reaktif yang hanya bergejolak ketika kamera media menyorot?

DPR RI bukan penonton bencana. Mereka adalah aktor utama yang menentukan apakah rakyat semakin terlindungi atau justru semakin rentan.

Publik menunggu keberanian, ketegasan, dan ketulusan. Karena di tengah derasnya air bah, yang paling dibutuhkan rakyat adalah hadirnya negara, lewat wakil-wakilnya yang benar-benar bekerja.

Pos terkait