RENCANA Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) untuk melelang sebagian kawasan Gurindam 12 kepada pihak ketiga menimbulkan banyak tanda tanya dan kritik dari masyarakat.
Kawasan yang sejak awal dibangun sebagai ikon Tanjungpinang sekaligus ruang publik, justru kini diarahkan menjadi lahan bisnis.
Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa orientasi pemerintah lebih condong pada keuntungan finansial ketimbang menjaga kepentingan sosial, budaya, dan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan Gurindam 12 dibangun sejak 2018 melalui skema multi years contract dengan biaya ratusan miliar rupiah yang bersumber dari APBD Kepri.
Pada tahap awal di masa Gubernur Nurdin Basirun, proyek ini menyerap anggaran sekitar Rp 95,3 miliar. Anggaran tersebut jelas berasal dari pajak dan jerih payah masyarakat Kepri.
Proyek Gurindam 12 merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk menghadirkan sebuah kawasan terpadu yang berfungsi sebagai destinasi wisata, ruang terbuka hijau, sekaligus pusat kegiatan ekonomi di Tanjungpinang.
Pembangunan kawasan ini dilaksanakan secara bertahap, dimulai dari zona A1 hingga zona-zona berikutnya, dengan tujuan mempercantik wajah ibu kota provinsi dan menghadirkan ruang publik yang representatif bagi masyarakat maupun wisatawan.
Secara geografis, kawasan Gurindam 12 memang sangat strategis. Lokasinya berada di tepi laut dekat Pelabuhan Sri Bintan Pura, pintu masuk utama Tanjungpinang dari Batam dan daerah lainnya, termasuk kedatangan wisatawan manca negara dari Malaysia, dan Singapura.
Kawasan ini sering dikunjungi warga untuk bersantai, menikmati panorama laut, hingga melihat aktivitas kapal ferry.
Jika ruang publik tersebut berubah orientasi menjadi kawasan komersial dengan dominasi swasta, besar kemungkinan akses dan kenyamanan warga akan terpinggirkan.
Maka wajar jika publik mempertanyakan: mengapa aset publik yang dibangun dengan uang rakyat harus diserahkan kepada swasta untuk dikelola selama 30 tahun?
Pemerintah berdalih bahwa lelang pengelolaan ini bertujuan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun hingga kini, belum ada penjelasan transparan mengenai proyeksi PAD yang akan diperoleh.
Publik tentu berhak mengetahui berapa besar potensi pemasukan daerah dari kerja sama 30 tahun tersebut. Tanpa kejelasan angka, alasan peningkatan PAD terkesan hanya retorika untuk menutupi kepentingan lain.
Sisi lain yang paling dikhawatirkan adalah dampaknya bagi pelaku UMKM lokal. Jika kawasan Gurindam 12 dikelola swasta, wajar bila mereka akan menetapkan harga sewa kios atau lapak yang tinggi.
Hal ini akan memberatkan UMKM yang selama ini justru berharap kawasan itu bisa menjadi etalase produk lokal. Alih-alih mengangkat perekonomian kecil, pengelolaan swasta justru berpotensi menyingkirkan mereka.
Janji Gubernur Ansar Ahmad untuk menggratiskan parkir di kawasan Gurindam 12 juga dianggap sekadar gimmick politik. Dalam praktiknya, pengusaha tidak pernah mau rugi.
Jika pemasukan dari parkir hilang, mereka akan menutupinya dari biaya sewa atau pungutan lain. Artinya, beban justru akan dialihkan ke pedagang kecil dan masyarakat pengguna fasilitas.
Padahal, parkir di kawasan Gurindam 12 seharusnya bisa menjadi objek PAD bagi Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai pemilik wilayah.
Jika parkir diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta melalui pengelolaan kawasan, maka Tanjungpinang justru kehilangan salah satu sumber potensial pemasukan daerah.
Lebih jauh, publik patut mempertanyakan urgensi dan transparansi proses lelang ini. Mengapa tiba-tiba rencana pengelolaan kawasan Gurindam 12 digulirkan ke pihak swasta tanpa kajian akademis dan keterlibatan publik yang memadai? Apakah ada kajian sosial, ekonomi, dan lingkungan yang memastikan bahwa kerja sama ini benar-benar menguntungkan masyarakat luas, bukan segelintir pihak?
Dari sisi hukum dan tata kelola aset daerah, rencana ini juga problematis. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa pengelolaan aset daerah harus didasarkan pada asas kemanfaatan untuk rakyat, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Jika pengelolaan jangka panjang hanya berorientasi pada bisnis, maka semangat undang-undang ini tercederai.
Selain itu, rencana ini mengaburkan tujuan awal pembangunan Gurindam 12. Kawasan tersebut sejak awal dirancang bukan semata sebagai destinasi wisata, melainkan juga ruang publik, ikon budaya Melayu, serta sarana untuk memperkuat identitas Tanjungpinang sebagai ibu kota Provinsi Kepri.
Jika aset itu berubah fungsi menjadi kawasan komersial, maka nilai sosial dan budaya yang melekat akan terkikis.
Kekhawatiran lain adalah soal keberlanjutan lingkungan. Kawasan tepi laut sangat rentan terhadap kerusakan ekosistem jika dikelola tanpa memperhatikan daya dukung.
Swasta, yang cenderung mengejar profit, bisa saja lebih fokus membangun fasilitas komersial besar-besaran ketimbang menjaga keseimbangan lingkungan. Padahal, jika terjadi kerusakan, masyarakatlah yang akan menanggung dampak jangka panjang.
Tidak kalah penting, dari perspektif politik dan etika pemerintahan, keputusan ini rawan menimbulkan kecurigaan publik. Mengingat nilai strategis dan ekonomis kawasan Gurindam 12, bukan tidak mungkin ada “udang di balik batu” dalam proses lelang.
Dugaan adanya pembicaraan di balik layar untuk menguntungkan pihak tertentu sulit dihindarkan, apalagi jika transparansi minim.
Kehadiran pemerintah seharusnya untuk melayani rakyat, bukan menjadi perantara bisnis. Uang rakyat yang digelontorkan untuk pembangunan Gurindam 12 semestinya kembali dalam bentuk layanan publik, fasilitas gratis, dan ruang usaha murah bagi UMKM.
Jika pengelolaan malah diserahkan ke swasta, tujuan pembangunan bergeser dari “untuk rakyat” menjadi “untuk pengusaha”.
Dari perspektif sosial, penyerahan kawasan Gurindam 12 ke swasta juga bisa memperlebar kesenjangan. Mereka yang mampu membayar mahal akan mendominasi akses, sementara warga biasa hanya menjadi penonton.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat inklusivitas ruang publik yang seharusnya bisa dinikmati semua kalangan.
Karena itu, alih-alih terburu-buru melelang, Pemprov Kepri sebaiknya membuka ruang dialog publik dan menghadirkan kajian independen.
Skema pengelolaan kolaboratif antara pemerintah, UMKM, komunitas budaya, dan akademisi bisa menjadi alternatif. Dengan begitu, Gurindam 12 tetap menjadi ruang publik yang menghidupi masyarakat, bukan sekadar aset bisnis jangka panjang.**







