PIJARKEPRI.COM, OPINI – Membangun masyarakat sipil yang inklusif berarti memperjuangkan ruang publik yang melibatkan semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam sistem politik kita saat ini, kebijakan publik sering kali menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Partisipasi perempuan yang rendah dalam lembaga-lembaga politik mengakibatkan berbagai kepentingan perempuan kurang terakomodasi dalam keputusan politik, karena keputusan yang dibuat cenderung berperspektif maskulin dan kurang memperhatikan gender.
Walaupun ada kebijakan afirmasi seperti kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik, jumlah perempuan yang akhirnya menjadi anggota DPR RI pada periode 2014-2019 justru menurun dari periode sebelumnya, dari 101 orang (18,04%) menjadi 97 orang (17,32%) dari total 560 anggota terpilih. Sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, Indonesia belum pernah mencapai angka 30% perempuan di parlemen. Ada beberapa faktor yang menyebabkan representasi perempuan dalam parlemen fluktuatif atau bahkan menurun.
Partisipasi perempuan dalam pemilu tidak hanya merupakan hak dasar, tetapi juga penting untuk memastikan representasi yang adil dan inklusif dalam proses pengambilan keputusan politik. Perempuan membawa perspektif dan pengalaman yang berbeda yang dapat memperkaya kebijakan publik dan membuatnya lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat. Studi menunjukkan bahwa ketika perempuan terlibat dalam politik, ada peningkatan dalam isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan keluarga, yang semuanya berdampak positif pada pembangunan sosial dan ekonomi.
Pertama, faktor kultural seperti paradigma patriarki dalam masyarakat yang memandang politik sebagai dunia laki-laki, sementara perempuan hanya untuk ruang domestik. Kedua, minimnya literatur dan pemberitaan terkait pentingnya representasi perempuan di parlemen. Ketiga, doktrin agama yang mengharamkan pemimpin perempuan di ruang publik turut membangun persepsi masyarakat untuk tidak memilih perempuan di parlemen.
Keempat, faktor ekonomi. Kurangnya sumber keuangan yang memadai serta beban ganda mengenai tugas rumah tangga dan kewajiban profesional menghambat perempuan untuk mengakses pendidikan dan pilihan profesi. Kelima, faktor struktural. Seleksi terhadap para kandidat umumnya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai yang mayoritas laki-laki. Struktur kepemimpinan yang didominasi kaum laki-laki dengan rendahnya kesadaran mengenai kesetaraan gender menyebabkan perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik. Affirmative action yang setengah hati juga berkontribusi terhadap rendahnya keterwakilan perempuan. Partai politik tidak sepenuhnya serius memprioritaskan perempuan lolos di parlemen. Perempuan kerap dijadikan sebagai pelengkap pemilu atau sekadar memenuhi kuota 30% syarat pencalegan.
Keterwakilan perempuan dalam politik adalah manifestasi dari politik kehadiran (politics of presence), sebuah konsep yang menekankan pentingnya representasi berdasarkan komposisi demografis masyarakat. Menurut Anne Phillips, politik ide yang diusung oleh partai politik sering kali tidak cukup untuk mewakili kepentingan perempuan, karena pemilih cenderung memilih partai politik dan bukan kandidat individu. Dalam politik kehadiran, keterwakilan perempuan di parlemen sangat penting untuk mengakomodasi kepentingan perempuan secara lebih efektif.
Perempuan yang terlibat dalam politik mampu mempelajari aturan main dan menggunakan pengetahuan serta pemahaman mereka untuk mendorong isu dan persoalan ke dalam proses legislasi. Keterwakilan perempuan di parlemen berimplikasi pada kualitas legislasi yang lebih responsif gender. Signifikansi keberadaan perempuan di parlemen juga berdampak pada perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming.
Sudah saatnya perempuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa melalui jalur politik. Perempuan politik adalah aset besar yang harus didorong maju, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Keterwakilan perempuan perlu didorong melalui regulasi agar komposisi perempuan terakomodasi di parlemen, dengan keterwakilan minimal 30% perempuan dalam legislatif. Namun, perempuan dalam parlemen tidak boleh hanya menjadi pelengkap atau memenuhi kuota saja; kualitas perempuan sebagai politikus juga harus mumpuni dan dominan dalam pengambilan keputusan, serta mampu bersaing dengan politisi pria.
Meskipun tantangan untuk mencapai kesetaraan politik masih besar, kesetaraan politik adalah ideal yang harus dicapai. Selain adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi parlemen, upaya peningkatan partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum juga harus dilakukan. Salah satunya adalah melalui pendidikan dalam keluarga tentang pentingnya berpartisipasi di dunia politik. Keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dampak besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia. Meskipun ada banyak tantangan, perubahan positif telah terlihat dan implementasi keterwakilan perempuan dalam politik harus terus didorong untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Selain itu, Partisipasi perempuan dalam pemilu adalah aspek krusial dari demokrasi yang inklusif dan representatif. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, langkah-langkah strategis dapat diambil untuk mengatasi hambatan tersebut dan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik. Dengan pendidikan, dukungan kebijakan, dan upaya kolektif dari masyarakat, perempuan dapat berperan lebih aktif dalam pemilu, membawa perspektif dan kontribusi yang berharga untuk pembangunan bangsa.
Penulis : Nurleni (Pengurus KNPI DPD Tanjungpinang)