OPINI – Belum pun tiba tahun 2024, tahun itu seolah olah menenggelamkan tahun 2023 bahkan 2022. Bagitulah ilustrasi dari bias kekuatan yang disematkan pada tahun 2024. Kata kuncinya, Pilpres, capres serta yang tidak lepas darinya adalah koalisi, cawapres, politik kasawan, politik kemananan hingga politik hukum. 2024 semakin matang meski belum pada masanya, ia dipaksa, dikarbitkan, direncanakan, dibongkar-pasangkan, berbagai skenario dijalankan, berbagai kekuatan diperhitungkan untuk terlibat di medan pertempuran. Semuanya dilakukan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Presiden RI 2024.
Belum begitu pulih akibat dihantam Covid-19, dilanjutkan dengan inflasi, kenaikan BBM, kemudian terus diteriakkan suara berbagai krisis dari istana negara. Krisis pangan, krisis energi, krisis keuangan. Rakyat Indonesia kini bahkan mungkin nanti telah kebal dengan sebutan “krisis” bahkan konflik global yang kemudian mempengaruhi kebijakan nasional di negeri ini. Berbagai alasan eksternal dikemukakan, mulai soal terganggunya rantai pasok global, hingga diplomasi kosong untuk perdamaian negara bertikai. Perang dagang belum usai, dihadapkan lagi dengan posisi kekuatan geopolitik Indonesia bagaikan bidak catur yang selalu digerakkan oleh bukan pemiliknya.
Bagaimana Presiden RI 2024 dapat berselancar di atas gelombang yang mencekam tersebut? Dari gelombang politik global hingga kenakalan ombak politik di negeri sendiri, mesti dianggap kecil, ombak politik nasional itu juga terkontaminasi dengan kehendak politik global. Tanpa ada peresmian, politik 2024 bahkan sejak tumbangnya presiden Soekarno, elite politik Indonesia terpapar siklus politik dunia, sudah menjadi warga global, telah berpayungkan bisnis politik internasional.
Indonesia boleh saja disebut merdeka, tetapi ikatan-ikatan yang diciptakannya tidak mampu menggerakkannya bebas menentukan apa saja. Ketergantungan negara terhadap negara lain hampir disebut telah menjadi keniscayaan. Ikatan inilah yang kemudian menciptakan sebuah sayembara politik yang akan diikuti oleh calon presiden untuk Presiden RI 2024. Sayembara politik ini tidak bisa dipahami dengan sedangkalnya praksis demokrasi hari ini. Demokrasi dalam makna dari, oleh dan untuk rakyat sejatinya adalah penampakan dipermukaan, buih-buih yang mengambang dan perlahan-lahan menghilang dan kemudian ada lagi, begitulah seterunya. Artinya, buih itu tidak mempengaruhi apapun terkait apa yang terjadi didasar lautan.
Apapun terminilogi yang dibungkuskan padanya, pilpres 2024 memang pertarungan kolektif yang menyeretkan pengaruh ikatan-ikatan yang dimaksudkan di atas. Kondisi politik memang cepat berubah, rezim boleh berganti namun apakah hal yang menjadi pengikat Indonesia ini akan berganti? Kunci jawabannya dapat ditelusuri melalui memahami bagaimana arah geopolitik dan politik kawasan dunia yang dimainkan oleh negara adidaya, sekutunya atau pesaing negara adidaya dan sekutunya.
Mungkin menyebut semua calon presiden memiliki hubungan dengan kaitan negara yang dimaksud merupakan suatu yang naif atau boleh disebut sebagai teori yang usang, sudah menjadi rahasia umum. Namun siapapun presiden yang terpilih di tahun 2024 akan masuk dalam komunitas global yang tidak mungkin ia hindari, tidak mungkin pula ia berdiri sendiri dengan berbagai investasi politik yang sudah jauh-jauh hari ditanamkan di negeri ini.
Penulis tidak menyebut bahwa Indonesia telah dijebak semenjak rontoknya rezim Soekarno, tetapi tanda-tanda sejarah cukup memberi sinyal kepada kita hari ini bahwa apapun persaingan politik untuk menduduki kursi Presiden RI, sungguh tidak jauh dari bayang-bayang negeri yang mahir memciptakan simpul pengikat itu. Hal ini semakin meyakinkan kita dengan ditambahnya semakin menguat fenomena partaikrasi, dimana suatu partai atau sekelompok partailah yang berdaulat dalam menopang seorang presiden atau parlemen.
Praktik politik transaksional yang menghiasi elektoral tidak bisa dibantah, penyelewengan penegak hukum dalam memenangkan suatu kubu politik masih dipercayai oleh pekerja politik. Yang tak mungkin bisa jadi mungkin, begitu pula dengan sebaliknya. Gelanggang pilpres hampir diciptakan seperti panggung sayembara burung yang diadakan oleh pemilik kolektif. Burung yang memiliki suara sesuai kriteria akan mendapatkan kemenangan, memang menang, tetapi masih saja burung tersebut berada dalam sangkar dan dimanjakan. Piala, penghargaan, martabat tetap pada pemiliknya burung.
Siapakah pemilik Indonesia hari ini? yang jelas bukan berada seutuhnya pada partai politik yang sudah lewat ambang batas, apalagi partai yang masih jauh dari perolehan ambang batas. Politik terus dinamis, mencair mengalir mengikuti alurnya sendiri. Begitulah dunia bekerja, publik disajikan fatamorgana, menggiring dan meyakinkan publik untuk menemukan hal yang ditampilkan yang sejatinya sesuatu itu memang tidak ada. Publik kembali dipaksa atau dipengaruhi untuk terus-terusan membuka lembaran baru dari berbagai kekosongan catatan yang pernah dijanjikan.
Pertanyaan siapa pemilik Indonesia hari ini masih belum terjawab. Pertanyaan lanjutannya adalah siapa presiden RI 2024? Untuk menemukan jawabannya sanga alot, rumit namun ramai. Alot karena penentu siapa presiden adalah tergantung pada kehendak segelintir orang. Rumit karena kepastiannya dibuka pada menit-menit akhir selum betarung. Ramai karena heboh sebelum pertarungan dimulai. Siapakah yang menciptakan politik Indonesia sehingga menjadi sedemikian rupa? Yang menciptakannya adalah pemilik Indonesia hari ini yang akan dipimpin oleh Presiden RI 2024. Jika pembaca merasa sebagai pemilik Indonesia, maka selamatkanlah Indonesia dari berbagai kutukan politik dunia yang masih melekat padanya.\
Oleh Zulfata : Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selat