Abeh Carong Ekonomi Hanco (Aceh)

Oleh Zulfata Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selatan
Oleh Zulfata Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selatan

HARI ini tentu tidak bijaksana beralasan bahwa Aceh tidak maju karena Aceh pernah konflik atau korban konflik, tertimpa Tsunami, sumber daya manusia rendah, dan seterusnya.

Jika masih beralasan sedemikian barangkali itu semua karena dampak buruk dari berbagai kekuatan “spesial” yang telah diambil dan dilaksanakan oleh Aceh.

Bacaan Lainnya

Kemudian jika masih keras kepala dengan alalasan bahwa semua itu membutuhkan waktu yang lama, maka itu ibarat seperti preh buaya hanyot (menunggu buaya hanyut).

Tidak ada kepastian dengan alasan penantian itu, justru yanga adalah menjadi celah pemanfaatan oleh para perusak Aceh dengan kendali kekuasaannya yang mahir berakrobat di lingkar pemangku kekuasaan di Aceh.

Diakui atau tidak, Aceh hari ini telah memiliki kendaraan untuk melaju yang barangkali dianggap lengkap, bahkan sempurna dari pada daerah lain, namun karena efek “abeh carong” atau kelewatan pintar, sehingga Aceh hanco ekonominya.

Sehingga saat ekonomi hanco, maka kacau balau lah semuanya, penyakit dari segala penyakit muncul, mulai dari penyakit sosial hingga penyakit gila agama, gila kuasa, gila harta, gila perempuan, gila gelar, dan masih banyak gila-gila lainnya.

Sehingga fakta Aceh seperti inilah yang menjadikan Aceh penulis sebut sebagai Aceh negeri terkutuk, bukan Aceh negeri terleubeh ateuh donya (negeri terlebih di atas dunia).

Untuk itu, Aceh harus cepat sadar dari sikap “abeh carong”nya itu, dan kembali melihat realitas seterang mungkin, jangan banyak-banyak berilusi atau teriak-teriak kosong dan melompong.

Diakui atau tidak, Aceh secara politik nasional dapat disebut tidak ada lagi martabatnya. Apakah dengan kondisi seperti ini Aceh bisa lagi teriak merdeka seperti dahulu kala? Atau masih todong sana todong sini? Tentu hal ini sangat jauh panggang dari api.

Tidak ada yang menyangkal bahwa di Aceh tidak ada orang cerdas, dan tidak mungkin pula di Aceh tidak ada orang kuat. Yang ada adalah semunya telah lengkap di Aceh. Orang yang pergi kuliah ke luar negeri, belajar di berbagai negara pun sudah pulang ke Aceh.

Orang yang jago mengkritik untuk kemajuan juga banyak. Orang dermawan juga banyak. Kampus juga menjamur di berbagai wilayah Aceh. Lembaga anti korupsi juga ada di sana.

Sumber daya alamnya jangan ditanya lagi, sudah memang berlimpah. Birokrat jebolan sekolah kedinasan yang katanya bergengsi itu juga ada di Aceh. Advokad lebih lagi. TNI dan Polri juga ada.

Organisasi kepemudaan juga tak sedikit. Organisasi ulama hampir semua golongan ada. Sekolah juga ada. Lembaga adat yang mirip kepala daerah juga ada. Rumah sakit umum semua kabupaten/kota juga ada. Masjid banyak, pesantren banyak, dan profesor tak sedikit, politisi tak berhenti dikaderkan, pengusaha hampir seluruh penjuru, kontraktor juga ada, anggaran daerah berlimpah, dan begitu seterusnya yang menggambarkan bahwa perlengkapan untuk Aceh cepat berpeluang maju itu sudah lengkap.

Tetapi mengapa kini Aceh juga belum maju-maju? Apakah benar Aceh hari ini benar telah dikutuk? Biarlah pembaca yang menjawabnya secara jujur.

Terkadang sangking lengkapnya di Aceh itulah yang menjadikan Aceh “abeh carong” merasa pintar semua, merasa dirinya penguasa semua, merasa dirinya pakar semua, merasa benar semua, merasa hebat semua, merasa suci, merasa paling berpengalaman, merasa jago, merasa raja, merasa paling berbudaya dan seterusnya.

Sehingga kebanyakan merasa-rasa ini sehingga menjadikan Aceh seperti yang dilihat hari ini. Ekonomiya hancur dengan tidak menyebut berbagai bentuk kehancuran di sektor lainnya.

Sampai kapan Aceh hidup dengan situasi yang begitu kompleks sedemikian? Sementara ingin mendulang generasi Aceh ke depan kini dihantui oleh fakta stunting yang tinggi di Aceh dengan berbanding lurus dengan rendahnya mutu pendidikan.

Melihat arah ini tentu menggiring kita bahwa Aceh makin tampak makin hancur. Membicarakan atau membenah Aceh saat ini bisa jadi kita berada diposisi maju kenak mundur kenak. Sehingga melihat Aceh hari ini harus dinikmati seperti nonton film Warkop, Dono, Kasino dan Indro.

Sehingga membuat kita tertawa, menegangkan, sedih dan terus menyulut harapan.

Dalam kondisi serba legkapnya Aceh hari ini, tanpa disadari Aceh telah kehilangan mentalnya dalam beragama, berbangsa, bernegara dan berkerakyatan.

Penyakit “abeh carong” Aceh ini mesti dikisis, di buang jauh-jauh hingga tak berlanjut ke generasi mendatang. Penyakit “abeh carong” ini ada di kampus, parlemen, kantor pemerintah, pesantren, pengadilan, sekolah dan seterunya harus benar-benar dicuci bersih. Tidak ada orang luar Aceh yang mau membenahi Aceh secara serius dan berkelanjutan.

Orang Aceh kini harus sadar diri bahwa sikap “abeh carong” menjadi kata kunci mengapa Aceh tampak semakin gila alias konyol hari ini di panggung nasional.

Untuk itu, Aceh hari ini tidak boleh manja, mengkek, berlagak seperti Rambo yang merasa kuat menyerang pihak manapun. Sehingga Aceh hari ini bukanlah singkatan dari Arab, China, Eropa dan Hindia (ACEH). Tetapi Aceh adalah Abeh Carong Ekonomi Hanco.


 

Pos terkait