Merdeka Doeloe, Kini, dan Nanti

Teddy Fiktorius, M.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat.
Teddy Fiktorius, M.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat.

Merdeka Doeloe, Kini, dan Nanti

Oleh : Teddy Fiktorius, M.Pd.

Merdeka Doeloe
Pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1966 begitu berakar dalam sanubari kita. Bagaimana tidak? Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah! menjadi jargon yang mengingatkan generasi penerus bangsa untuk belajar dari sejarah bangsa.

Mari sejenak kita tilik kembali semangat perjuangan para pahlawan. Dulu, pekik ‘Merdeka atau mati!’ menjadi slogan heroik untuk membakar semangat para pejuang. Hanya bersenjatakan bambu runcing, para patriot bangsa mengusir penjajah.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu 14 Agustus 1945, golongan muda Indonesia mendesak agar kemerdekaan harus diproklamasikan selekas-lekasnya. Mereka mendesak kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan keras melawan penjajah, bukannya hadiah dari Jepang!

Merdeka Kini
Setelah 75 tahun merdeka, apakah pekik ‘Merdeka atau mati!’ masih terdengar pas? Tentu saja tidak! Kini, mari kita pekikkan ‘Merdeka atau tertinggal!’.

Bangsa Indonesia sekarang dijajah oleh kebodohan dan kemiskinan. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 15 Juli 2020 sungguh miris. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019. Bukan main!

Perjuangan tidak lagi dimaknai sebagai pertumpahan darah, melainkan membangun bangsa. Tak pelak lagi, perhatian pemerintah saat ini bergeser dari pembangunan infrastuktur ke pembangunan sumber daya manusia (SDM). Di sinilah kekuatan bidang pendidikan dan kebudayaan meletakkan urgensinya.

Namun, apa lacur! Pendidikan di Indonesia tidak pernah terlepas dari kompleksitas permasalahan.

Pertama, akses pendidikan belum merata. Tidak meratanya akses pendidikan menyebabkan tidak seimbangnya kualitas pendidikan. Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, namun anak-anak di pulau Jawa dianggap lebih tinggi tingkat literasinya dibandingkan dengan anak-anak di Papua. Klaim demikian tidak dapat disanggah, bukan?

Kedua, arus pesat globalisasi bersifat disruptif. Semakin canggih teknologi, keterampilan yang dibutuhkan pun semakin kompleks. Berdasarkan penelitian World Economic Forum (WEF) 2020, empat keterampilan teratas dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah pemecahan masalah yang rumit, berpikir kritis, kreativitas, dan manajemen manusia. Pendidikan di negeri ini harus mampu memfasilitasi tantangan ini.

Ketiga, pandemi Covid-19 berdampak pada sektor pendidikan. Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi opsi bijak sekaligus problematik. Mendikbud Nadiem Makarim mengungkapkan sejumlah kesulitan, yakni kendala jaringan internet dan mahalnya pulsa. Selain itu, guru terkesan sekadar mengejar tuntutan kurikulum. PJJ dibuat tak ayalnya hanya serangkaian sesi memberi tugas bagi anak didik!

Terlepas dari efek dahsyat pandemi Covid-19, ketertinggalan pendidikan negeri ini tercermin dalam pencapaian di pentas global. Penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) 2019 menunjukkan hasil penilaian siswa Indonesia yang hanya menduduki posisi keenam dari bawah.

Catatan permasalahan pendidikan di atas menjadi perhatian utama pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pertama, berbicara soal akses pendidikan, negara hadir dengan instrumennya berupa anggaran pendidikan sebesar 20%. Pada tahun 2020, anggaran pendidikan sebesar Rp505,8 triliun atau meningkat 29,6% dibandingkan realisasi anggaran pendidikan di tahun 2015 yang hanya sekitar Rp390,3 triliun.

Kedua, menyinggung soal tekanan mengejar kurikulum, Kemdikbud mengeluarkan Keputusan Mendikbud RI No.719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Lebih jauh, visi kemerdekaan belajar di Indonesia telah dijembatani dalam kebijakan ‘Merdeka Belajar’. Gagasan Ki Hajar Dewantara tercermin jelas, yakni menjadikan manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirnya, dan merdeka raganya.

Ketiga, berkenaan dengan biaya pulsa, Mendikbud menyerukan pertaruhan kehormatannya untuk memperjuangkan anggaran pulsa PJJ, sebagaimana disampaikan di tayangan Mata Najwa pada 5 Agustus 2020. Menyoal keterbatasan jaringan internet, Kemdikbud menyiapkan sarana base transceiver station (BTS) bergerak untuk wilayah yang mengalami kesulitan jaringan internet.

Mencermati setiap langkah korektif pemerintah dalam penanganan permasalahan pendidikan, ‘optimis’ adalah diksi yang tepat untuk disematkan.

Tapi, tunggu dulu!

Membangun bangsa ini memerlukan perhatian komprehensif tidak hanya dalam sektor pendidikan, namun juga kebudayaan.

Dikutip dari situs BPS, terdapat 1.331 suku di Indonesia. Sementara itu, dikutip dari situs Kemdikbud, Badan Bahasa Kemdikbud telah memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia.

Keberagaman di Indonesia merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal. Inilah sebabnya semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ menempatkan eksistensinya. Hanya saja, tampaknya ia sekadar jargon, belum menjadi sumber inspirasi pengembangan tata sosial, politik, budaya, dan keagamaan.

Masih segar di ingatan kita, bagaimana kampanye pilpres Indonesia 2019 telah memorakporandakan tatanan kehidupan berbangsa. Kominfo merilis daftar hoaks selama Agustus 2018 hingga April 2019 yang mencapai 1.731 hoaks. Adapun hoaks tersebut bermuara dari kemajemukan bangsa ini.

Konflik sosial, budaya, dan agama menyebabkan pudarnya arah pendidikan. Selayaknya pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai budaya. Dalam melestarikan kebudayaan, proses transfer yang paling ampuh adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, upaya untuk memperjuangkan multikulturalisme adalah melalui pendidikan multikultural.

Pendidikan multikultural mendesak bagi negeri yang plural ini. Bagaimana tidak? Pendidikan ini menekankan sikap empati. Pendidikan multikultural menciptakan persamaan bagi peserta didik yang berbeda-beda kelas sosial dan kelompok budaya, atau bahkan bagi penyandang disabilitas yang kadang dimasukkan ke dalam kaum minoritas.

Lantas, bagaimana konsep penyelenggaraan pendidikan multikultural yang aplikatif? Ia sepantasnya beracuan pada tiga entitas, yakni pribadi anak, semesta alam, dan entitas ilahi.

Pertama, filosofi setiap anak adalah unik. Anak-anak terlahir dengan bakat dan minat yang berbeda-beda. Begitu juga tingkat kecerdasan majemuknya. Satuan pendidikan harus mampu memfasilitasi tumbuh kembang anak secara optimal sesuai bakat, minat, serta kekuatan dan kelemahan kecerdasan yang berbeda.

Kedua, semangat keindonesiaan. Bukan sebuah kebetulan anak terlahir di Bumi Pertiwi yang plural. Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap eksklusif, satuan pendidikan perlu membiasakan penghayatan cinta tanah air. Warisan luhur bangsa menjadi bagian fundamental dari kultur satuan pendidikan.

Ketiga, prinsip universalitas agama. Satuan pendidikan perlu melakukan dua pendekatan terhadap keberagaman pemeluk agama. Pertama, pluralitas agama diposisikan sebagai fenomena sosial budaya yang perlu disadari peserta didik. Kedua, satuan pendidikan mengkristalkan nilai universalitas agama, yakni semua agama mengajarkan cinta damai dan menjunjung tinggi moralitas.

Merdeka Nanti
Pemerintah melalui dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menko Perekonomian memproyeksikan bahwa Indonesia pada tahun 2045 akan menjadi satu di antara 7 kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Indonesia memiliki modal untuk berkompetisi di panggung dunia! Bagaimana tidak? Berdasarkan proyeksi penduduk 2015-2045 hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, penduduk Indonesia yang tergolong usia produktif (15-65 tahun) mencapai 185,22 juta jiwa atau sekitar 68,7% dari total populasi. Bonus demografi inilah modal awal untuk menyongsong Indonesia Maju 2045!

Pendidikan dan kebudayaan yang digdaya melalui penerapan nilai-nilai keteladanan yang berakar pada multikulturalisme memungkinkan generasi penerus bangsa untuk memekikkan ‘Merdeka, bersatu, dan maju!’, bukan lagi ‘Merdeka atau mati!’.

Bila bukan kita anak bangsa yang memperjuangkan ‘Merdeka Nanti’, siapa lagi?

Penulis merupakan ; Teddy Fiktorius, M.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat.

Penyunting : Aji Anugraha
Editorial : Redaksi pijarkepri.com

Pos terkait