
PIJARKEPRI.COM, Tanjungpinang – Lebih kurang sekira 3,5 hektar hutan mangrove (bakau,red) hutan negara di tepian alur Sei Carang, kawasan Cagar Budaya Tanjungpinang dibabat habis perusahaan PT Telaga Bintan Jaya untuk pemanfaatan kawasan cagar budaya sei carang.
Kuasa Hukum PT Telaga Bintan Jaya, Urip Santoso, di Tanjungpinang, Jumat (30/3) lalu membenarkan ditebangnya hutan bakau tersebut untuk sarana wisata.
“Buat kota wisata terpadu,” ungkapnya melalui pesan whatsapp.
Ia juga menunjukkan surat pemanfaatan lahan tersebut yang diterbitkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, untuk dipergunakan sebagai pemanfaatan kawasan cagar budaya sei carang.
Pada point izin pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau tersebut PT Telaga Bintan Jaya diwajibkan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Namun faktanya, lebih kurang 2,5 hektar pohon bakau dibabat habis perusahaan tersebut.
Dilokasi pembabatan hutan mangrove dan lahan milik PT Telaga Bintan Jaya itu berbatasan langsung dengan Komplek Pemakaman Di Raja Al-Marhom Al-Sultan Ibrahim Syah Zilu’llah Fil’Alam Khalifat Ul’Muminin (Marhom Bungsu Kota Tinggi Riau) Sultan Johor Darul Izam ke-9 tahun 1677-1685.
Tertulis dengan jelas kawasan tersebut dibawah perlindungan Imam Hulu Riau. Namun, masih saja dapat dikelola sebuah perusahaan yang tengah membuka lahan dengan membabat habis hutan mangrove di area itu.
Menyikapi itu, Ketua LSM Air Lingkungan dan Manusia (ALIM) Kherjuli, di Tanjungpinang, Senin (2/4) mengamati pelaksanaan pengerjaan rencana pembangunan PT Telaga Bintan Jaya yang tengah memangkas habis 2,5 hektar mangrove ditepian alur Sungai Carang.
Hasil penelitiannya di lokasi pembabatan sebagian dari pohon mangrove ditemukan habis ditebang, sebagian petugas Kementerian Lingkungan Hidup juga tengah menghitung PNBP hasil penebangan setiap pohon dikawasan tersebut yang diketahui milik perseorangan.
“Jadi pohon yang ditebang perusahaan ini wajib diganti oleh pihak pengelola, untuk dibayar ke negara. Ada sekitar 2 hektar pohon mangrove2 hektar lebih, kalau aktivitasnya nanti sekitar 3,5 hektar,” ujarnya.
Menurut Kherjuli, meskipun tanah dan hutan mangrove dan sebagian hutan tersebut bukan milik negara, namun diharapkan pihak perusahaan seharusnya dapat memperhatikan kelestarian cagar budaya dilokasi tersebut.
Saat ini diketahui lokasi pembabatan hutan bakau dan pemanfaatan lahan itu berada dikawasan cagar budaya makam keluarga Kesultanan Riau-Lingga. Ia mengharapkan kegiatan usaha tersebut diwajibkan mendukung pelestarian cagar dan nilai budaya setempat, tidak dengan membabat habitat pohon mangrove.
“Informasi sepintas untuk kegiatan tersbut untuk eko wisata. Nah itu yang harus dikaji lagi oleh pihak pemrakarsa dengan mengkaji lagi apakah dampak dari pembangunan, dan harus di kaji lagi dokumen Hamdal dan UKL UPL peruntukannya,” ungkapnya
Dalam analisa LSM ALIM, setiap kegiatan usaha harus sesuai dengan penataan ruang dengan RTRW. Dalam kacamatanya, pengelolaan kawasan hutan tersebut bukanlah hutan negara.
“Makanya mereka bisa membersihkan pohon bakau ini, tetapi mereka harus membayar ke negara setiap pohon yang ditebang,” ujarnya.
Terkait dengan mangrove yabg ditebang perusahaan, lanjutnya, ditemukan beberapa regulasi yang mengatur, diantaranya UU No 32 tahun 2009 tentang pengolahan lingkungan hidup, UU RTRW, UU 41 tahun 1999 yang menyebutkan, negara memberikan hutan hak, dan hutan hak itu debirakan dikuasasi mayarakat adat maupun perorangan.
“Nah nanti terkait lingkungan hidup kita harus wanti-wanti, jangan sampai pembangunan kegiatan usaha ini mengurangi daya dukung lingkungan, daya dukung lahan menurun, palung-palung sungai ini harus kita awasi, jangan tertutup dan jangan mengganggu sedimentasinya, itu harus kita pantau,” ujarnya.
Keherjuli menegaskan, perusahan dan pengelola lahan jangan sampai merusak peruntukan cagar budaya dengan kegiatan diluar dari pada itu.
“Kalau itu terjadi kita harus stop, karena memang sudah melanggar peruntukan, yang perlu dicermati yakni, sebelum ada kegiatan usaha ini kegiatan utama adalah kawasan cagar budaya,” ujarnya.
LSM ALIM sangat menyayangkan sedari dulu pemerintah tidak mempertahan aset wilayah cagar budaya sungai carang, yang dikenal dengan kota rebah, bahkan tanah diseputar kawasan cagar budaya itu dimiliki perusahaan.
“Sayangnya pemerintah kita sejak dulu tidak mau mengamankan tanah ini masuk dalam cagar budaya, sementara itu dikusasi perorang, tapi itulah masa lalu agraria kita,” ungkapnya.
Hingga saat ini pembabatan hutan mangrove di kawasan cagar budaya tersebut masih berlangsung, meskipun sebagian masyarakat belum lama ini menggelar aksi penolakan atas aktifitas tersebut. (ANG)